“Meru” dan “Abu”

14 05 2010

Rasanya sulit menolak hasrat menuliskan kembali catatan perjalanan saya dan teman-teman IKAMASI di Merbabu. Mungkin karena pagi ini saya melihat keindahan Merapi-Merbabu dari jendela kamar saya. Man, i was such a greatest hero ever, menyelamatkan tenda kami dari serbuan lutung-lutung gunung yang nggak beretika! Jadi simpan dulu pisangmu atau nugget-mu itu, karena cerita masih panjang.

Akhir Juni 2007, lagi-lagi saya seperti setengah menderita schizopren, merasakan serbuan kabut tipis dementor tepat di depan pintu kos saya. oke i’m ready to the Azkaban. Nun jauh di atas sana Merbabu yang kalah populer, merasakan keasingan yang begitu akrab.

Jadi sore itu, saya sudah berada di Sekre kami. Rencananya jam 3 kami sudah berangkat dari Jogja. Tapi tau-kan? Gimana tingkah polah teman-teman mahasiswa yang sok penting itu. Percayalah, saya sudah berkawan akrab dengan ini. Huhhhhh ngarettttttt.

Molor. Tapi nggak pake zzzzzZzzzz….

Personil sudah lengkap. So what??? Bla.. bla.. bla.. ternyata tenda kami terlalu kecil, nggak bisa menampung kami ber-8. Tuh kan, bener-bener kacau n’ nggak wellprepared. Mau berangkat tapi kami masih harus berkutat putar otak jungkir balik pake nungging segala (hhhfffff) mencari pinjaman tenda.

Lalu dengan pede-nya, sumpah ini pede banget, teman kami Mr.Cribs membawa-bawa tenda Dora hijau dekil dengan bangganya. Menurutnya itu solusi paling brilian. Lo tau-kan? tenda mainan anak-anak yang suka dijual abang-abang di pinggir jalan. Yupp, benar itu sama kayak yang lo pikir. Insane.

Ya ampun my man, did you ever think it not stronge enough out there? Itu kan cuma muat buat Spongebob sama Patrick.

Lepas maghrib begitu masalah tenda sudah teratasi, kami berangkat menuju lokasi. Dengan 4 motor, muter dulu lewat gamping pake acara hilang personil segala. Maklum penyakit rabun ayam lagi mewabah.

Hujan lagi. Dan saya lagi-lagi nggak waras. Jadi belum sampai Magelang, sekali lagi kami harus berteduh di Halte. Petir yang nggak setengah-setengah nakutinnya. Saya harap ada Flash Gordon yang membawa kami semua dengan cepat ke tempat aman. Tapi nggak ada-kan? Jadi saya cuma berdoa, Yaa Tuhan kalau Engkau mau menurunkan hujan, turunkanlah. Tapi nggak pake deres.. ada petirnya lagi. Saya takut.

Begitu hujan reda kami langsung tancap gas. Udara malam yang lembab, saya seperti sudah merasakan dinginnya hembusan angin gunung kalau saja saya lagi-lagi tidak dibawa kegilaan yang sesat.

Oh shiiiiiitttttttt… How could you do this to me!

Kami berakhir di tikar angkringan alun-alun kota Magelang. Lama-lama saya muak dengan romantisme angkringan ini. Diameter perut saya sudah bertambah 3 cm karena Teh Panas! Dan kami mau-maunya nurutin kemauan Kipli, biker kami. Sesuai kode etik klub motor, sebagai ketua yang berdedikasi, menurutnya dia berkewajiban menjalin relasi dengan klub motor kota lain. Hffff…

Quote of the day #1 : Jangan tergesa-gesa dengan anggota geng motor kecuali anda disalip.

Rasanya rencana pendakian itu tinggal rencana. Mood udah terbang melayang. Apalagi malam itu kami berakhir di serambi Masjid, bergelung diatas lantai yang dingin. Oh My God, seperti baru keluar dari cerita guru agama saya waktu SD. Pak mawardi yang ekspresif dan konyol, dengan bangga menceritakan kearifan dan kebaikan hati sesama muslim pada musafir. Tapi kan kami nggak menunggang unta dan menyusuri padang pasir! Berpeluh keringat membawa pesan dari surga. Kami cuma korban konspirasi genk motor. Arrrggghhhhhh….

Dalam hati lagi saya berdoa, Yaa Tuhan semoga iler Amir Mahmud itu nggak mengandung lemak babi.

“Meru” dan “Abu”

Whuaaaatttttt?!!!!

@#$%^&*())_+#….

Saya nggak abis pikir. Saya pikir Mahenk lebih capable mengurus logistik kami. Oh come on Guys, kita bukan sekedar tamasya ke Pantai tapi berpetualang di Gunung. Masa’ di pagi yang lembab itu sempet-sempetnya kami mesti belanja perbekalan di salah satu pasar di Kabupaten Magelang.

Saya sudah melipat muka saya jadi bangun ruang simetris. Horeeee… Akhirnya saya berhasil menerapkan prinsip matematis dalam hidup. Nggak sia-sia mati-matian belajar, saya mulai percaya saya jenius. Semua itu karena ulah teman-teman saya ini. Cemberut sepanjang jalan yang akhirnya membawa kami tersesat di kebun tembakau. Hueekkk baunya nggak enak!

Monggo pinarak!

Terus-terusan kami ditawari singgah. Attitude pribumi yang membuat Indonesia terkenal di mata dunia karena keramahtamahannya. Saya merasa benar-benar ada di Indonesia. Heran, sedetik kemudian jadi malu. Egois, sinisme, individualitis, matrealistis, hedonisme seperti menunjuk-nunjuk hidung saya.

Mengambil jalur pendakian Wekas, kami menuju desa terakhir di lereng Merbabu. Jalanan terus mendaki, jadi kami yang dibonceng harus menumpang mobil bak terbuka yang penuh petani sayur dan sayurannya itu. Haha.. untung nggak kambing dan ayam kayak sinetron-sinetron lebay. Saya, Mr. Cribs, Restu dan Amir Mahmud berbagi tempat duduk dengan kol dan wortel. Merasakan angin diantara deretan cemara hutan serta hamparan kebun sayur.

I’m the supertramp. Yuhuuuu… you can’t deny it. Saya merasa sedang berbicara dengan wortel segar bebas pestisida itu. Haha.. saya bahagiaaaa sekali.

Pukul 10 kami mulai berangkat dari Basecamp. Begitu dimulai, jantung saya seperti mau lepas dari tempatnya. Gilaaa nanjak terus, masa nggak ada basa-basinya. Eurggghhhhhhh saya ngantuk dan kurang tidur pengen balik ke base camp rasanya.

Deretan hutan pinus yang sudah kehilangan pesonanya di mata saya. Jalur pendakian ini lebih popular karena dianggap jalur terpendek namun trek yang dilalui cukup merepotkan. Terus menanjak tanpa ada daratan luas yang membentang.

Tiba di Pos I yang masih ramai karena dekat dengan pemukiman penduduk dan perkebunan rakyat. Saya nggak merasakan keindahan sepanjang perjalanan. Makan ati karena terus-terusan ditinggal cowok-cowok yang terobsesi menunjukkan sisi macho-nya. Untungnya ada Amir Mahmud yang baik hati yang setia berjalan di sisi saya. Meski kami tertinggal jauh di belakang.

Cuma tanah yang gembur dan batu yang dimuntahkan ratusan tahun yang lalu. Itu sebabnya dinamakan Merbabu, Meru yang artinya gunung dan Abu, dahulunya adalah gunung berapi, satu dari rangkaian ‘ring of fire’ Pasifik.   Sepanjang perjalanan nggak ada pemandangan menakjubkan yang bisa dinikmati. Pantes aja kamu jadi anak tiri Merbabu. Keindahan macam apa yang bisa kamu tawarkan?

Jadi saya terus bersusah payah mengejar teman-teman sekaligus mendengar celotehan Amir tentang pendakian sebelumnya juga passion-nya menjadi bintang film. He..

Pos Kedua. Dataran paling luas yang bisa kami temui selama pendakian. Ditumbuhi pohon yang besar-besar dan alang-alang. Saya curiga disanalah habitat macan tutul Merbabu yang hampir punah berada.

Kami mendirikan tenda disana. Saya lupa persisnya jam berapa kami tiba. Lapar dan kelelahan. Jadi sementara teman-teman memasang tenda, saya berinisiatif membersihkan peralatan makan kami. Ridiculous. Entah dimana saya taro otak saya, hfff mungkin di penggorengan, bukannya air yang saya tuang ke tumpukan alat makan itu tapi minyak tanah.

Bego. Bego. Bego.

Saya melihat mata-mata kelaparan menuduh saya. Ampuuuuunnn.

Jadi cepat-cepat saya cuci bersih piring-piring kami ke pipa air yang bocor. Nggak beracun-kan? Sedikit minyak bumi kata orang cina obat mujarab untuk mengatasi sakit perut.

Tes.. tes..

Rasanya bukan iler Amir Mahmud yang jatuh berceceran ke muka saya-kan? Oh shiiittttt tenda kami bocor dan hujan lagi-lagi memilih saya jadi sahabatnya. Yaa Tuhan kalo mau kasih hujan nggak pake bocor ke muka dong.

Malam yang dingin. Dingin beneran bikin kebelet pipis. Nggak ada sesuatu yang berarti apalagi pemandangan yang bisa kami patri. Diluar sana hujan rintik-rintik dan anginnya cukup bikin pusing. Apa jadinya coba kalo tenda Dora itu dibawa? Dalam hati saya tertawa puas.

Cuma kabut tipis yang perlahan menuruni lereng, bukan dementor. Sumpah saya cuma bercanda mau mengunjungi Azkaban. Tapi anginnya itu loh.. lagi-lagi memamerkan suara mistisnya. Jadi saya duduk terjaga, begitu juga Mr. Cribs dan Amir Mahmud. Dan ketika yang lain bergelung malas persis Garfield yang kekenyangan, saya jadi ingat pesan penting teman saya dalam momen ini. Katanya saya harus membuat confession. Did I really fallin’ in love? Shhhhhh I’m not that insane.

Saya ingin menyanyi memecah kesunyian waktu itu. Tapi malu, kemungkinan besar udara dingin bakal bereaksi dengan getaran yang timbul dari pita suara saya. Emberrr, suara saya tidak lagi jazzy (haha hueekk) tapi bervibra dengan gigi gemeletuk. Kecepatan getaran harmonik dan gelombang yang nggak sinkron yang bahkan Newton-pun bakal bingung menghitungnya. Ck ck ck kebanyakan bergaul dengan anak fisika emang bikin ego ini jadi besar. Sok tau.

Ahaaa, jadilah malam itu kami isi dengan acara masak-memasak.

Such a silly adventure…

Pagi yang manis sekali. Sudah ada kopi di depan saya. Meski Mahenk mencaci maki muka saya yang mencong-mencong, saya nggak peduli yang penting kopi itu harus jadi milik saya. Nggak heran mengapa kopi menjadi salah satu penemuan penting di abad ke-8. Caffeinnya bisa bikin orang jadi waras, mungkin kelakuan kami pagi itu mirip kambing-kambing gembala Kaldi yang jadi lebih agresif dan bersemangat karena menelan biji kopi..

Saya jadi bisa melihat keindahan hamparan bukit di bawah sana. Merapi yang persis di seberang kami. Gumpalan awan-awan yang membawa Nobita dan teman-temannya terbang.

Sudah diputuskan saya dan Dean yang menjaga tenda. Mr. Cribs, Mahenk, Restu, Amir Mahmud, Kipli dan XoXo melanjutkan pendakian hingga puncak.

Jadi saya ucapkan selamat tinggal pada sensasi yang menanti kami di atas sana. Puncak Merbabu yang berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan laut. Salah satu gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Menurut catatan sejarah Belanda, gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797.

Semakin ke puncak jalur pendakian makin melebar hingga pemandangan yang tersaji begitu indah. Berjalan diantara sisi lereng dan gunung-gunung kecil. Saya membayangkan teman-teman di atas sana berlagak mirip Ninja Hatori membelah lembah, melewati padang rumput savana yang indah. Jika beruntung kita bisa menemukan hutan edelweiss yang abadi itu.

Sementara yang lain muncak, saya dan Dean mulai bersih-bersih tenda. Menjemur jaket yang basah semalaman. Huhhh, kami mirip sepasang manusia pra-sejarah penjaga gua sementara yang lain pergi berburu. Nggak keren banget deh. Tapi hebatnya saya kembali mempraktekkan keterampilan mengiris sayur disini. Menyiapkan hidangan sebelum yang lain pulang.

Wajahnya inosen sekali. Saya merasa iba. Ucap saya dalam hati.

Wajahmu mengingatkanku pada kekasih yang saya tinggal dulu. Desis Dean penuh perasaan, dalam hati juga.

Kami melempar pandangan riang gembira melihat seekor monyet yang muncul dari rimbunan pohon. Ihhhh lucu banget, sambil dadah-dadah lagi.

Jadi Dean yang setengah jatuh cinta itu mulai mengeluarkan nugget kami. Melemparnya dan Ooopss, horeeee nugget-nya berhasil ditangkap. Eh datang satu lagi, Dean kembali melempar. Lalu datang lagi yang lain, kembali Dean melempar satu. Oh Gosh ini sih udah keterlaluan.

Tiba-tiba kumpulan monyet-monyet muncul bergerombol dari balik alang-alang. Saya merasa seperti Jean yang diserbu kumpulan monyet Afrika yang ganas dan kelaparan. Dan shhhhhhh Tarzan disamping saya ini cuma bisa melongok takjub, sedetik kemudian ketakutan.

Ya ampun Mr. Tarzan coba monyet-monyet ini diberi kursus kepribadian! Nggak sopan tau melotot kejam kayak gitu. Tobaaaatttt, kami seperti sedang dikepung Densus 88.

Saya langsung inget tayangan National Geographic tentang kanibalisme monyet. Perlu ke psikiater kali tuh lutung. Oke, jadi ketika Tarzan bukan lagi the hero, saya nggak boleh panik. Saya harus tunjukkan otoritas saya sebagai manusia! Predator no. 1.

“Oke, Tarzan. Kamu disini jaga tenda jangan sampé ada yang dicuri. Saya cari bantuan ke tenda sebelah.”

Kebetulan ada Mapala UPN yang membangun doom tak jauh dari kami. Saya berlari mencari pertolongan.

“Tolong.. toloooong… kami diserang monyet,” saya mengiba-iba mirip artis reka ulang korban KDRT di acara Sergap.

“DIMANAAAAA?!” teriaknya sambil mengacung-ngacungkan golok.

Widihhhh tenang Bang. Abang Pitung satu ini semangat sekali! Saya langsung tahu kalo Si-Abang paling anti sama Darwin dan Teori Evolusi-nya. Haha.. sabar Bang, monyetnya belum mirip dirimu.

Lalu desisan dibalas desisan.

Teriakan dibalas teriakan.

Plototan dibalas plototan. Nggak lupa golok si-Abang diacung-acungkan ke langit.

Saya dan Dean menonton sambil bertepuk tangan. Halaaah lebay.

Horeeee monyetnya pergi.

Sebelum si-Abang pergi meninggalkan tenda, Dean tiba-tiba nyeletuk. “Maap ya temen saya ini parno, padahal sudah saya usir-usir monyetnya.”

Whuuuuaaaaattttt???! Bener-bener nggak sopan!

Lipatan simetris itu kembali muncul. Masih kesel karena Dean merasa lega dan bebas tidur sementara saya masih harus berjaga-jaga. Siapa tau monyet-monyet itu kembali dan membangun taktik yang lebih kejam. Dengan novel Coelho ditangan, saya masih setengah khawatir. Hhhfffff Emang ada yah korelasi antara Coelho dan monyet merbabu? Dan diantara syair-syair Nabi Daud dalam novel itu, beberapa monyet kembali ke tenda kami. Mengorek-ngorek sisa makanan.

Reaksi Dean cuma kaget lalu zzzzz molooor lagi. Apa jadinya coba kalo tenda kami dicabik-cabik!

Saya sudah nggak sabar mengadukan bencana yang menimpa saya begitu teman-teman kembali ke tenda. Dengan santainya Dean ngomong, “gue ngelindungin Ina dari monyet-monyet!”

Hahhhhh!!!!! Nggak kebalik tuh.

Saya ogaaaahhh berbagi sendok dengan Dean. Tapi lega karena nggak ada yang keracunan memakan masakan saya. Saya memasak sarden itu dengan cinta tau! Haha… akhirnya saya benar-benar bisa memasak.  Horreeeee…

Hmmm iri bukan main mendengar pengalaman sampai ke Puncak. Dari atas Puncak kita dapat memandang Merapi yang angkuh, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gunung Sumbing dan Sindoro bersanding indah. Di sisi lain ada Gunung Ungaran. Dan dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Lawu.

Tapi saya juga nggak menyesal diserbu monyet-monyet konyol itu. Sore-nya kami bergegas mengemasi barang-barang kami. Dengan sedikit kengototan barangkali. Dan Mr. Cribs memelototi saya seolah-olah usul saya paling nggak masuk akal sedunia. Turun gunung detik ini juga! Saya nggak mau menggigil kedinginan di sini lagi tau!

Sedikit menyesal karena setengah perjalanan menuruni Merbabu dilalui ketika langit sudah gelap dan kami mesti ekstra hati-hati. Saya bahkan nggak bisa melihat dengan jelas. Tapi untungnya malam itu juga kami tidur dibawah atap, masih dingin juga, nggak kebayang deh dinginnya kalau kami ada di dalam tenda Dora.

Keesokan harinya, Jum’at yang cerah, kami meninggalkan Basecamp. Benar-benar perjalanan yang indah. Terima kasih Tuhan, yang saya sesalkan cuma satu, siapa yang akan memberi monyet-monyet itu nugget lagi?

Hutan pinus yang terbakar, perjalanan menuju Puncak

Dari atas Puncak Merbabu

Dari atas Puncak Merbabu

Farewell to the monkeys up_there!

*Foto Dokumentasi IKAMASI





Cat’s on Fire

30 03 2010

Entah kenapa saya geregetan sekali ingin menulis tentang kucing. Mungkin karena sepertinya baru saja ada seekor kucing yang memanggil saya “Mama”. Jadi saya ajak kucing dekil itu ke bawah tangga memanggilnya sayang, mencurahkan naluri keibuan saya. Karena berpengalaman dengan gerak-gerik kucing, saya langsung tau kalo dia kucing betina dan sedang hamil pula. Huhhh rupanya dia mencari tempat hangat dan nyaman untuk persalinan. Jadi ingat Mimi kucing keluarga kami yang paling legendaris mempertahankan ras felis silvestris catus dan beberapa kali harus diusir dari rumah karena melahirkan di lemari pakaian Mama.

“Bener-bener nggak asik banget…”

Sebenarnya saya sendiri merasa bukan tipe manusia penyayang binatang seperti Oprah tapi nggak sekejam Paris Hilton yang tega-teganya membawa-bawa Tinkerbell-nya dengan tas. Meskipun itu tas Louis Vuitton, oh please mending lo lempar ke gue tas-nya! Sepertinya dalam dunia para kucing, orang-orang seperti saya yang mereka tunjuk sebagai teman. Persis seperti tongkat penyihir memilih tuannya. Arrrrrghhh jadi nyasar ke Harry Potter-kan. Tapi gini yah, suerrr deh, biar gue dah menyangkal ketertarikan gue sama kucing, teteuuuuppp aja mereka nyamperin.

Mungkin karena dari kecil saya menganggap diri saya Sailor Moon yang ditemani kucing hitam jelek Luna. Atau karena guru saya salah ketik nama saya hingga nama saya berubah jadi Catila bukan Shatila, sepertinya saat itu saya mulai mendapat separuh kekuatan Sailor itu. Huaaaa berarti tinggal nunggu ‘Tuxedo Bertopeng’ dong… yes.. yes..  Bisa juga karena saya Cancer yang moody yang dipengaruhi bulan yang cocok sekali jadi penyihir. Anehnya lagi, saya berkhayal dulunya adalah seorang ratu Mesir yang ditemani kucing berraut muka iblis. Harus bener-bener mirip iblis sesuai angan-angan gila saya.

Kucing memang sudah menjadi sahabat manusia sejak ribuan tahun lalu. Sejak 3500 tahun SM orang Mesir kuno menganggap kucing binatang yang amat keramat, penjelmaan Dewi Bast. Bahkan ketika seekor kucing mati maka dia akan di-mumi-kan persis manusia. Kayaknya si Hoki, Britney, Betty, Marco, empat dari belasan kucing yang saya miliki nggak punya ciri-ciri titisan kucing bangsawan mungkin disesuaikan dengan nasib pemiliknya. Hee…

Tapi gini yah… biar-pun suka bersikap manis, manja, mengelus-ngelus kaki saya, duduk dipangkuan dan menikmati kehangatan perut saya, saya peringatkan kucing itu bukan sahabat yang baik! Dia itu licik! Kalo ada istilah malu-malu kucing, ya emang bener begitu. Waktu melihat ada makanan di meja, dia pura-pura nggak peduli. Begitu kita lewat, huss husss lewat juga semua makanan itu.

Jadi setelah saya observasi mati-matian, hee lebay banget deh, kucing itu bukan hewan yang setia. Dengan sendirinya dia akan bersikap manis sama semua orang yang memberinya makan tapi enggak akan ingat sama sahabat manusianya. Hebat bener yah, kayak politikus aja pilih-pilih teman. Jangan-jangan anggota Dewan pernah mempelajari mati-matian tentang filosofi kucing ini. Nyatanya, memang tak ada sejarah yang mengungkapkan keterikatan emosional antara kucing dan pemiliknya, katanya sih karena sejak dahulu kala proses domestikasi kucing dari hewan liar menjadi hewan peliharaan berlangsung nggak sempurna.

Yang hebatnya kucing ini punya memori yang cukup kuat. Meskipun pergi berkilo-kilo meter jauhnya dari rumah, tapi dia tahu jalan pulang. Belum ada bukti ilmiah sih, cuma menurut pengalaman saya emang begitu. Cimot, kucing kampung yang kami pelihara, suatu hari mendapat murka ayah. Tanpa kami ketahui, Cimot dibuangnya sejauh hampir 5 km. Jangan ditanya gimana sedihnya hati ini. Meskipun Cimot hanya kucing kampung yang kebetulan Mama bantu proses persalinan induknya, dia sudah jadi bagian hidup kami. Kami menyaksikan prosesi kelahirannya, memberinya susu dan memanggapnya adik kecil kami yang ‘sedikit’ nakal.

Melewati jalan raya yang banyak dipenuhi truk dan angkot, rel kereta api yang bisa saja Cimot mati terlindas KRL, kali dan ‘grojogan’-nya itu, belum lagi preman-preman jalanan sebangsa musang, cimot kembali dengan gagahnya ke pelukan saya. Saya bangga sekali dengan Cimot seperti rasa bangga ayah ketika saya ranking satu. Cimot yang kurus-kering korengan bermandikan lumpur. Rasanya ingin saya peluk terus dan tak kan membiarkannya pergi jauh lagi. Jadi malam itu juga, saya tak peduli dengan cerocosan ayah tentang toxso dan segala bahayanya itu, juga keluhan ayah tentang sikap Cimot yang tidak beretika itu.

Di Eropa sendiri, sekitar abad pertengahan, kucing hitam menjadi sasaran amukan warga karena dianggap jelmaan penyihir. Itu-lah yang menjadi latar peristiwa black-death, ribuan kucing hitam dilempar ke dalam api. Inilah yang menyebabkan wabah pes menyerang hebat Eropa kala itu hingga ratusan ribu orang harus meregang nyawa.

Seringkali saya menutup mata dengan kucing-kucing di sekitar saya. Tapi rasanya mereka terus-terusan meong-meong di depan saya. Dan saya mulai percaya tentang sisi mistis kucing, karena believe it or not saya mengalaminya sendiri. Sepertinya memang begitu, seperti tongkat penyihir, kucing-pun memilih penyihirnya masing-masing. Meskipun kadang mereka bersikap licik seperti Tom, atau malas seperti Garfield, menyebalkan mirip Felix atau semanis Luna.

Begitu banyak inspirasi yang datang ke dunia karena seekor ‘Singa kecil ini’. Karya-karya seniman dunia yang terinspirasi sosok kucing ini diantaranya poster La Tournee du Chat Noir-nya Théophile Steinlein yang sangat terkenal itu, lukisan Dora Maar au Chat-nya Picasso dan juga kumpulan puisi “Old Possum’s Book of Practical Cats”-nya T.S. Elliot. Yang paling menyentuh adalah kisah nyata Edgar Allan Poe, dituangkan dalam novelnya “The Black Cat”. Menceritakan tentang kucing hitam keluarganya, Catarina, yang setia menyelimuti kaki istri Poe dengan bulu-bulunya ketika sedang sekarat melawan TBC.

Sementara itu, di depan saya, kucing yang memanggil saya Mama itu duduk meringkuk di sudut bawah tangga. You’ll be fine, sweetheart.

Rasanya saya berhutang sesuatu pada kucing-kucing yang pernah datang ke dalam hidup saya : Mini, Mici, Poci, Cimot, Mickey, Putih, Manis, Mimi, Britney, Betty, Marco, Dian Sastro, Titi kamal, Nicholas Saputra, Hoki I, Preman RingRoad, Hoki II. Baik-baik di surga sayang.

(foto diambil dari http://www.art.com karya Vittorio)





“Gandhi di Yerusalem?”

31 01 2010

“Jika aku melupakanmu O’ Yerusalem,

Biarlah tangan kananku lupa akan keahliannya,

Biarlah lidahku melekat di langit-langit mulutku,

Jika aku tak menyanjung Yerusalem.”

<Seperti yang dikisahkan Paulo Coelho dalam novelnya, dari Mazmur 137>

Yerusalem. Kota tua yang menjanjikan masa depan bagi pemeluk agama Tuhan. Dengan janji-janji Tuhan disana, sadarkah kita bahwa sejarah kota itu diukir dengan darah dan air mata ? Sadarkah kita jika agama yang kita junjung tinggi itu mewariskan budaya kekerasan pada dunia? Padahal Tuhan tidak pernah mengajarkan kekerasan pada umatnya.

Ada kisah lucu tentang Senator negara bagian Nebraska Amerika Serikat, Ernie Chambers, yang mendaftarkan gugatan terhadap Tuhan ke Pengadilan Kota Nebraska. Chambers menuding bahwa Tuhan dan pengikutnya di seluruh dunia telah menyebabkan rasa takut, gelisah, teror dan ketidakpastian sebagai upaya memaksa manusia mengikuti perintahnya.

Entah bagaimana cara Tuhan menanggapi gugatan tersebut, tapi yang pasti Tuhan tak pernah menyuruh seorang Nasrani untuk memilih menjadi Protestan atau Katolik, atau seorang Muslim untuk menjadi teroris, atau bahkan seorang Yahudi untuk melakukan genosida. Jika kita mau jujur, agama erat sekali kaitannya dengan budaya kekerasan. Sesuatu yang prinsipal dan asasi bisa mengubah manusia menjadi seorang egois. Klaim tentang kebenaran dan surga bagi kaumnya.

Sejarah mencatat tentang perang salib hingga konflik Arab-Israel tidak pernah terselesaikan. Ribuan momen telah ikut ambil bagian dalam upaya merealisasikan perdamaian, tapi konflik terus berlangsung. Konflik dan kekerasan telah menjatuhkan harkat dan martabat para pemeluk agama.

Every peace has its enemies. Tentu saja ungkapan itu benar adanya. Pihak-pihak yang dengan sengaja mengatasnamakan agama demi kekuasaan, demi tanah dan ladang minyak, adalah musuh perdamaian. Damai, tentu saja kata yang sangat indah. Tetapi bukankah segalanya harus adil terlebih dahulu, lalu kita bisa berdamai. Konsep tentang keadilan inilah yang kemudian banyak dipakai secara matematis dan ekonomis dengan rumusan Einsten; relativitas.

Konflik yang terjadi di dunia dewasa ini, mengingatkan kita pada kuliah-kuliah filsafat dasar semester I. Bahwa seperti kata Marx, akan selalu muncul konflik pertentangan kelas, antara majikan dan kaum pekerja atau antara tuan tanah dan petani garapan. Dan kita pahami kini, bukan orang yang beragamalah yang haus kekuasaan, merebut hak orang lain dan memicu konflik antar umat beragama.

Hentikan rasialisme dan kolonialisme baru! Hentikan prasangka-prasangka politis! Kemudian dapat kita katakan dengan lantang bahwa agama tidak pernah membudayakan aksi kekerasan. Kembalikan tanah kami, kemudian kita bisa hidup dengan damai dan rukun. Tarik semua pasukan militer itu, lalu akan kami ajarkan anak-anak shatila-sabra memegang pena dan bunga bukan batu dan senapan.

Ahimsa. Perlawanan tanpa kekerasan. Umat manusia harus keluar dari kekerasan hanya dengan melalui tindakan tanpa kekerasan. Gandhi dengan sikap dan pemikirannya tentang konflik 60 tahun lalu, tetap eksis dan menjadi inspirasi banyak individu. Berdamai dengan diri sendiri dan orang lain, dan akan banyak Gandhi-Gandhi di dunia, juga di Yerusalem.

Suatu saat, kita akan mengenang Yerusalem sebagai negeri yang damai, sebagai tanah bagi banyak pemeluk agama. Kita akan segera melupakan perang dan penderitaan ribuan tahun itu. Kita juga akan kembali ke Masjid dengan hati yang bersih, memulai misa dan berziarah dalam damai serta menangis dan berdoa di tembok ratapan. Kita akan tertawa saat salah satu teman kita berkelakar bahawa ia beragama ‘NU’, maka kita akan dikenang sebagai generasi yang adil dan saling memaafkan.

Pada dasarnya setiap manusia berhak untuk hidup maka janganlah mengambil hak hidup orang lain. Dunia akan lebih toleran, demokratis dan harmonis. Stop Violence Action!

♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ♣ ♣





Do Not Fixing My Heart Coz’ I’m Not Broken!!!

28 01 2010

There was nothing to say the day she left

I just filled a suitcase full of regrets

I hailed a taxi in the rain

Looking for some place to ease the pain, ooh

Then like an answered prayer

I turned around and found you there

You really know where to start

Fixing a broken heart

You really know what to do

Your emotional tools can`t cure any fool

Whose dreams have fallen apart

<Obsession Indecent>





“Refleksi Pemuda dalam Bingkai Kedaerahan”

28 01 2010

Organisasi Daerah <orda>, belum apa-apa saya sudah apatis mendengar kata-kata itu. Jujur saja, hal pertama yang terbesit dalam kepala saya tentang orda adalah organisasi yang dibentuk oleh sekumpulan orang yang tergila-gila pada primordialisme dan ah paling-paling ‘kepanjangan tangan’ dari penguasa. Dimana letak independensinya? Mana intelektualitasnya sebagai mahasiswa yang ‘katanya’ punya predikat keren sebagai agent of social control atau agent of change? Kontradiktif dengan idealisme yang biasanya mendarah daging di setiap orang muda.

Kesimpulan tersebut memang prematur meski tak jarang beberapa orda hanya dijadikan alat politik beberapa pihak tertentu. Pertanyaan lain yang sering muncul adalah apakah orda tempat yang tepat dan representatif untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi intelektual? Gagasan yang menyusut dari skala global memang bukan hal yang populer belakangan ini.

Fenomena organisasi daerah bukan hal yang baru lagi di kalangan generasi muda yang melibatkan komponen pelajar dan mahasiswa dari daerah. Organisasi macam ini banyak menjamur di kota-kota yang menjadi kota tujuan pendidikan seperti Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan banyak kota lainnya. Pola masyarakat intelektual yang ingin mengukuhkan eksistensinya bahkan sudah dimulai sebelum era kemerdekaan RI. Kita tentu masih ingat dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang menyatukan berbagai organisasi kepemudaan daerah dalam bingkai perjuangan nasional. Adanya komitmen bersama untuk satu dalam berbangsa, bertanah air dan berbahasa.

Pemuda memang erat sekali hubungannya dengan gerakan pembaharuan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pemudalah yang menjadi motor penggerak bangsa. Pada usia 24 tahun, Hatta menyuarakan dan memperkenalkan Indonesia sebagai bangsa dan menjadi pemimpin delegasi Indonesia pada Kongres Demokrasi Internasional di Bierville – Perancis.

Jong Bekasinen Bond?

Image’ yang menempel pada organisasi daerah itulah yang akhirnya membuat saya kala itu, mahasiswa tingkat dua di kota Jogja dan bahkan banyak mahasiswa lainnya, enggan untuk bergabung dengan organisasi sejenis. Apakah kita masih berputar-putar lalu kembali pada wacana otonomi daerah? Previlege bagi orang Bekasi? Pribumi atau non-pribumi?

Awal perkenalan saya dengan IKAMASI – Yogyakarta (Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi) dipenuhi dengan banyak prasangka. Kira-kira apa yang menyatukan kami? Idealisme jelas bukan. Hanya kota padat penduduk dengan segala kerumitan di dalamnya yang berpotensi untuk lebih rumit lagi. Mungkin Ikamasi lebih cocok disebut “Jong Bekasinen Bond”?

Pendapat saya langsung terpatahkan begitu berkenalan dengan teman-teman di dalamnya. Saya sadar bahwa kekeluargaan, rasa cinta dan kepemilikan (sense of belonging) yang besar pada Bekasi yang menyatukan kami. Bahkan saya bisa bilang bahwa proses pengenalan dan kecintaan saya dan teman-teman pada Bekasi, lahir di Jogja. Bahasa pergaulan dengan dialek Bekasi yang kental yang hampir-hampir tak pernah saya dengar di Bekasi, malah terdengar akrab di Angkringan Jogja.

Yang lebih menyenangkan, kami yang berkumpul di Ikamasi adalah kumpulan mahasiswa yang membagi ilmu-nya untuk didiskusikan di forum-forum yang kami selenggarakan. Banyak dari anggota Ikamasi adalah aktivis kampus yang berbeda-beda pandangan dan idealisme, mahasiswa yang unggul di bidangnya bahkan juga para seniman nyentrik. Hal-hal itulah yang membuat diskusi kami semakin berwarna meski hanya duduk melingkar di Boulevard UGM.

Setelah itu, saya tak bisa mengatakan lagi bahwa organisasi daerah bukan tempat yang representatif untuk mengasah intelektualitas. Kami sadar bahwa Ikamasi berpotensi mencetak kader-kader bangsa maka untuk mengakomodir itu semua dibutuhkan sinergi positif dari Pemerintah Daerah. Niat baik kami direspon positif oleh Pemda Kota dan Kabupaten Bekasi. Generasi muda adalah investasi terbesar yang dimiliki pemerintah.

Saya bisa katakan juga bahwa sedikit banyak Ikamasi berperan dalam pelestarian budaya lokal melalui riset dan kegiatan di dalamnya. Adanya keinginan dari anggotanya untuk meneliti potensi-potensi yang ada di Bekasi menegaskan kami tak sekedar organisasi ‘arisan’ tapi institusi pengabdian pada masyarakat. Nilai-nilai yang tumbuh dari kebersamaan itu pada akhirnya berdampak besar bagi perspektif daerah dan kebangsaan. Ikamasi bukanlah objek tapi aktor dalam pembangunan daerah dan nasional.

Potensi Organisasi Daerah

Tak bisa dipungkiri bahwa organisasi daerah ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, organisasi ini dinilai terdepan dalam gerakan sosiokultural dan berkontribusi besar dalam menggali potensi-potensi daerah, namun disisi lain tak jarang organisasi ini dapat memicu konflik disintegrasi atau bahkan dijadikan kendaraan politik segelintir orang. Dewasa ini orang berasumsi bahwa orda kalah populer dari organisasi kepemudaan lainnya yang lebih global. Tak perlu heran karena pola pikir masyarakat kini memang cenderung melihat sesuatu yang bersifat mayor. Tak ada yang salah, karena berorganisasi adalah pilihan.

Yang menjadi pertanyaan sekarang ini adalah apakah organisasi daerah masih cukup relevan dan dapat memfasilitasi aspirasi anggotanya? Bergerak sesuai koridor yang ditetapkan?

Kompleksitas permasalahan organisasi daerah lebih rumit lagi karena dibutuhkan ketertarikan cukup besar anggotanya untuk memajukan organisasi. Permasalahan internal yang tak jarang memicu konflik sampai profesionalitas kerja yang semuanya itu hanya dihubungkan oleh benang merah sense of belonging dan rasa kekeluargaan. Organisasi daerah haruslah mengeliminasi resiko-resiko tersebut, terus bergerak independen dan membawa kepentingan masyarakat dalam setiap program kerjanya.

Lepas dari itu semua, Eksistensi tidak hanya dilihat dari organisasi yang memayungi kita tapi kesadaran moril dan kerja keras membangun bangsa. Pemuda harus menyadari bahwa dimanapun dia berada, kitalah yang menentukan arah perubahan dengan baik. Menyuarakan suara rakyat tanpa kepentingan politik, menjadi kreator dan inovator di bidangnya masing-masing.

* * * * * * *





“Bekasi, A Missing Identity”

24 01 2010

Saya bisa merasakan secercah emosi ketika membaca testimonial seorang saksi sejarah bernama Saih di sebuah blog. Laki-laki tua yang menjadi saksi sekaligus korban selamat dari Pembantaian Rawagede yang menewaskan 431 orang. Beliau menuturkan, pada 9 Desember 1947, dirinya berhasil selamat setelah berpura-pura mati ketika pasukan Belanda memberondong semua penduduk laki-laki dengan senapan.

Aksi pasukan Belanda itu terjadi ketika Belanda melancarkan Agresi Militernya yang pertama. Untuk menumpas laskar-laskar perjuangan rakyat dan unit pasukan TNI khususnya Divisi Siliwangi yang berulang kali menyerang pos-pos pertahanan Belanda, maka pasukan Belanda mulai melakukan sweeping kawasan Bekasi yang menjadi salah satu basis pergerakan. Akibatnya, penduduk terdesak hingga ke Karawang. Rawagede, daerah perbatasan Karawang-Bekasi di sanalah aksi keji itu berlangsung.

Pembantaian itu sendiri merupakan kejahatan perang dan jelas-jelas melanggar HAM namun setahu saya belum ada sanksi atau tindakan hukum kepada Pemerintah Belanda hingga saat ini.

Kisah heroik diatas hanyalah sekelumit sejarah yang jarang sekali kita temukan di buku sejarah. Sebuah catatan sejarah yang terlupakan. Terkadang memang sejarah tak pernah luput mengikutsertakan kepentingan yang bermain di belakangnya.

Kota Patriot?

Beberapa tahun yang lalu ketika hendak menyusun tugas akhir, saya sempat bertanya-tanya sendiri. Kenapa Bekasi, sebuah daerah yang begitu strategis, kota satelit bagi ibukota negara, maju akan industrialisasi dan sektor jasa, serta kawasan potensial bagi jutaan migran dari seluruh Indonesia mendapat kehormatan sebagai Kota Patriot.

Tentu saja saya masih ingat tentang romantisme puisi Karawang-Bekasi itu yang begitu menggugah semangat juang. Begitu juga kisah para pejuang yang tak pernah dituliskan namanya dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti dalam salah satu novel terbaiknya Pramoedya Ananta Toer “Di Tepi Kali Bekasi”.

Sepertinya ada yang salah, kurang tepat dan tidak pada tempatnya. Kenapa nggak sekalian saja diganti “Bekasi Kota Patroli” mengingat maraknya aksi kriminalitas atau “Bekasi, Your Next Destination Citymengingat suburnya bisnis properti dan migrasi besar-besaran penduduk dari luar Jakarta. Padahal, jika kita telusuri nilai strategis Bekasi saat ini sebagai gerbang menuju ibukota, begitu pula pentingnya peranan Bekasi di masa lalu. Jadi tutup saja buku sejarahmu itu, karena sejarah Bekasi lebih banyak kita temui di sekitar kita jika kita mau peduli.

Belasan tahun saya pergi ke sekolah melewati monumen simbol perjuangan rakyat, tapi apa saya pernah tergugah? Saya lupa seperti apa persisnya perasaan saya saat itu. Bertahun-tahun saya menunggu kereta yang membawa saya ke Jogja tanpa tahu nilai historis Stasiun Bekasi. Melihat Kali Bekasi yang airnya selalu tenang bahkan cenderung kekeringan, tapi herannya rumah saya sering kebanjiran, padahal disanalah banyak episode perjuangan rakyat berlangsung. Suatu kali saya bahkan dibuat tak percaya melihat bambu kurus kerempeng dengan warnanya yang pudar ditengah-tengah perempatan, menurut penduduk sekitar bambu itu adalah monumen perjuangan rakyat ketika melawan penjajah.

Miris sekali rasanya melihat kemajuan Bekasi jauh melangkah meninggalkan identitas yang membentuk karakter kota ini. Guru sejarah saya semasa sekolah hampir-hampir tak pernah menyebutkan pergolakan sejarah di Bekasi secara kongkret. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat rasa ingin tahu saya makin membesar, dari berbagai sumber saya menemukan sejarah Bekasi sudah diukir jauh sebelum era kolonial dimulai. Bekasi sejak awal memang merupakan kawasan strategis hingga menjadi pusat Kerajaan Tarumanegara.

Dalam bundel arsip surat kabar di Perpustakaan Nasional RI, saya menemukan cerita bersambung di salah satu surat kabar waktu itu tentang jawara-jawara di daerah Tambun. Tak diragukan lagi, Bekasi memang terkenal akan semangat patriotismenya. Begitu juga catatan sejarah tentang peristiwa Bekasi Lautan Api. Dosen saya bahkan menuduh saya mengada-ngada tentang peristiwa itu.

Identitas sebuah bangsa adalah cerminan dari karakter orang-orangnya, begitu pula halnya dengan sebuah kota. Bekasi yang dikenal dengan sebutan kota patriot merujuk pada patriotisme, sifat tangguh dan pantang menyerah penduduknya. Sebuah basis pergerakan rakyat yang terkenal akan laskar-laskar perjuangannya. Kini hendaknya kita mawas diri, masih pantaskah gelar tersebut dipakai sementara semangat patriotisnya sudah tumpul terkikis modernitas.

Ini bukan primordialisme, hanya saja mungkin kata-kata “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya” terlalu klise, keinginan saya hanyalah mengembalikan identitas Bekasi yang pudar. Penghargaan kepada para pejuang seperti sebuah museum yang mengabadikan jutaan momen di tanah kita.

Saya percaya pejuang-pejuang yang terpinggirkan seperti dalam novelnya Pramoedya atau kesaksian Pak Saih, suatu waktu akan menjadi catatan sejarah yang tak pernah dilupakan.

History is a guide to navigation in perilous times. History is who we are and why we are the way we are (David C. McCullough).





Sans Nouvelle de Dieu…

15 01 2009

na

Dari harian Media Indonesia, senin (13/1) Saya membaca berita tentang euforia “Chavez-ism” di Palestina. Yap. Hugo Chavez Presiden radikal dari Venezuela menjadi ikon dan semangat baru bagi perjuangan rakyat Palestina yang selama 60 tahun kemerdekaannya dirampas. Ikon perlawanan menentang penjajahan, neo-kolonialisme.

Bendera Venezuela bersanding dengan bendera Palestina. Berbagai potret bahkan spanduk bergambar Chavez mewarnai tiap aksi protes dan demonstrasi menentang aksi bombardir Israel di Jalur Gaza. Pasalnya, Presiden sayap kiri dari Amerika Selatan ini tak segan-segan mengusir Duta Besar Israel dari Caracas, Ibukota Venezuela. Kita tentu masih ingat aksi Chavez sebelumnya yang menertawai insiden pelemparan sepatu wartawan Irak pada Bush, kemudian mengolok-olak Presiden Amerika Serikat itu.

Tentunya, Chavez kini menjadi ikon bagi perjuangan kaum tertindas, yang sengaja termarjinalkan. Seorang anggota parlemen Palestina malah mensejajarkannya dengan Che Guevara yang melambangkan perjuangan kebebasan manusia untuk merdeka. Cuma kurang ganteng aja. Hahaha

Agresi Israel yang sudah menewaskan lebih dari 1000 orang sipil ini, jelas merupakan tragedi kemanusiaan yang mencoreng peradaban manusia modern. Kebudayaan tinggi yang mengaku-ngaku menempatkan HAM diatas segala-galanya. Tapi cuma bisa diam, menunduk malu pura-pura nggak tahu atau sengaja bersembunyi di rok Mama. Si Nyonya Besar, Amerika.

Chavez ini walaupun dituding sebagai anggota poros setan oleh Bush dan antek-anteknya, jelas memandang agresi Israel sebagai persoalan kemanusiaan bukan lagi sebatas aksi penyerangan Yahudi terhadap kaum Muslim. Reaksi yang lebih manusiawi daripada sikap negara-negara Arab pada umumnya. Mungkin mereka lebih nyaman hidup dalam tenda haremnya, bergelimpangan harta, emas dan minyak. Mengenyam pendidikan Inggris yang bermartabat dan sesekali datang ke Las Vegas untuk berjudi.

Jadi ingat obralan sore saya dan Mama ketika masih kecil dulu. “Apa bangsa Arab itu pasti masuk surga, Mam?” “Apa bangsa Arab itu lebih terhormat dari bangsa Indonesia, Mam?” “Kenapa Nabi diturunkan di tanah Arab, Mam?”

Dan umumnya, seperti wanita yang lebih banyak membaca buku daripada mendengar ceramah Ustadz di Masjid, Mama saya yang open-minded itu cuma bilang, “Itu-lah Nak, karena di sana Jahiliyah merajalela. Maka sengaja diutus Nabi, membawa pesan dari Tuhan. Kalau kau berani bersikap Jahiliyah begitu bukan cuma Nabi yang diutus tapi Izrail sekalian!”.

Jadi saat ini, saya ingin mulai mengobrol ringan lagi dengan Mama saya yang hebat itu, “Mama… Apa Tuhan punya pesan lain yang belum disampaikan?”

Paling-paling Mama cuma mendesah pelan lalu setengah berteriak, “Seperti tak pernah belajar agama saja. Tak ada lagi pesan dari Tuhan. Baca Al-Quran, tak ada lagi Nabi!”

Jadi kawan, seperti kata Mama-ku sehebat apapun Chavez itu, seberapa iconic seseorang tak ada lagi Nabi di dunia ini. Tapi jelas kita butuh pemimpin yang berani, yang tak sekedar bergelar Raja keturunan nabi, untuk bertindak tegas melawan kekejian yang telah berlangsung begitu lama ini.

“Saya ingin dapat memberi Chavez paspor Palestina agar ia bisa menjadi warga negara Palestins. Lalu, kami memilihnya dan dia akan menjadi Presiden kami,” kata Mahmud Zwahreh, walikota Al-Masar, sebuah komunitas dekat Bethlehem.

Dalam teori dan pemikiran politik Islam, ada tiga gelar simbolik yang disematkan kepada beberapa orang yang melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dalam pucuk elite kekuasaan, yaitu al-imâm, al-khalîfah, dan amîr al-mukminin. Nabi Muhammad dengan tegas mengingatkan para pemimpin, “Hamba yang diberikan kekuasaan oleh Allah untuk memimpin umat, tetapi mengkhianati, dan tidak memberikan nasihat atau mengasihi mereka, Allah mengharamkan surga kepadanya.”

Menjadi Pemimpin berarti menjalankan Amanah dan prinsip keadilan.





Wisata Kuliner Kanibalism….

10 01 2009

Gambar-gambar ini gue dapet dari searching di internet, ya ampun booo ternyata banyak juga yah yang terobsesi sama menu makan malam Prof. Lecter! It doesn’t make any senses… emang aneh-aneh kelakuan orang di Jepang, dari segala macam jenis industri pornografinya mpe sensasi makan model begini?

Gila. Kalo pencapaian kebudayaan yang tinggi harus mencakup duduk semeja dengan calon-calon kanibal atau malah udah jadi kanibal beneran. Salam’in aja deh. Gue juga masih agak-agak bingung sih sama cerita sebenarnya… kali aja ini cuma kerjaannya mahasiswa seni. tapi, ih kebangetan! ide ini aja menurut gue udah sakit.

Masih inget nggak kisah nyata “healthy soup” dari kota Fu San, semacam obat kuat bagi Pria. Ternyata soup itu dibuat dari janin yang berusia 6-8 bulan. Astagfirullah. Kenapa sih laki-laki selalu terobsesi sama yang namanya obat kuat. Apa nggak cukup pede? Kasihan yah.

Udah gitu kenapa harus pake tubuh perempuan? Apa mereka pikir perempuan memang obyek yang mebarik untuk diekploitasi… belum kena aja kutukan Malin Kundang!

Bayangin aja, daging hewan aja nggak sanggup dimakan apalagi daging manusia… sebangsa n’ setanah air, biarpun itu boongan. yakon mau coba?

jep1

jep2

jep3

jep5

jep4





The Interview with Avrum Burg

6 01 2009
Ini Posting yang dikirim teman gue Kuncoro Sejati di Milis Peace Generation. Menurut gue ini penting dibaca…. Semoga everythings getting better…. semoga kita lebih arif dan menerima perbedaan sebagai hal yang wajar di muka bumi ini. Peace………..

Avrum Burg is the scion of one of Israel’s founding families — his father was the deputy speaker of the first Knesset, and Burg himself later became speaker of the legislature, and a member of Israel’s cabinet. His position at the heart of the Israeli establishment makes all the more remarkable his critique of the Jewish State, which he claims has lost its sense of moral purpose. In his new book The Holocaust Is Over: We Must Rise from Its Ashes(Palgrave/MacMillan ), he argues that an obsession with an exaggerated sense of threats to Jewish survival cultivated by Israel and its most fervent backers actually impedes the realization of Judaism’s higher goals. He discussed his ideas with TIME.com’s Tony Karon.

TIME: You argue that the Jewish people are in a state of crisis, partly because of the extent to which the Holocaust dominates contemporary Jewish identity. Can you explain?

Burg: I, like many others, believe that a day will come very soon when we will live in peace with our neighbors, and then, for the first time in our history, the vast majority of the Jewish people will be living without an immediate threat to their lives. Peaceful Israel and a secure Diaspora, all of us living the democratic hemisphere. And then the question facing our generation will be, can the Jewish people survive without an external enemy? Give me war, give me pogrom, give me disaster, and I know what to do; give me peace and tranquility, and I’m lost. The Holocaust was a hellish horror, but we often use it as an excuse to avoid looking around seeing how, existentially, 60 years later, in a miraculous way, are living in a much better situation.

In your book, you raise the question of the purpose of Jewish survival over thousands of years, insisting that Jews have not simply survived for the sake of survival. What is this higher purpose?

Both my parents were survivors — my father ran away from Berlin in September 1939; my mum survived the 1929 massacre in Hebron. So, my family knows something about trauma. Still, my siblings and I were brought up in a trauma-free atmosphere. We were brought up to believe that the Jewish people did not continue in order to continue, or survive in order to survive. A cat can survive — so it’s a circumcised cat, so what? It’s not about survival; survival for what?

Look at the Exodus: After 400 years of very aggressive oppression and enslavement, all of a sudden the outcry was “Let my people go,” and that continues to resonate against slavery everywhere to this day. Then we come to the Sinai covenant, which is a key moment not just for Jewish theology, but for Christian belief as well: The Ten Commandments is the first human-to-human constitution, setting out the relations among humans on the basis of laws. And then you come to the Prophets, and its amazing that they’re calling so clearly for a just society. And then, in the Middle Ages, you listen to Maimonides say he’s waiting for redemption of the world without oppression between nations. So, in the Jewish story over so many centuries, there has always been a higher cause, not just for the Jews, but for all of humanity.

Even in the Holocaust, the lesson is “Never Again.” But this doesn’t mean just never again can genocide be allowed to happen to the Jews, but never again can genocide be allowed to happen to any human being. So, the Holocaust is not just mine; it belongs to all of humanity.

You suggest that there’s been a turning inward from the universal purpose and meaning of the Jewish experience.. .

Both the internal and the external hemispheres of the Jewish experience are essential. I cannot envisage my Judaism without the input I got from the external world, be it philosophy, aesthetics, even democracy, which was introduced to the Jews in the last 200 years because of our interface with the the world. On the other hand, I can’t imagine my Western civilization and Western culture without the Jewish input, without Jesus Christ, who was born, was crucified and passed away as a Mishnaic rabbinical Jew. I cannot image Christian Europe opening up to modernity without a Maimonides reintroducing Greek philosophy. I cannot imagine modern times without a Spinoza, and Mendelson. I cannot imagine the 20th century without Marx and Freud. So, this conversation between Jews and the world is not just a conversation of pogroms and slaughter and Holocaust; it’s also a couple of thousand years of a conversation that enriched me and enriched them, and I don’t want to give that up.


Your book argues that the centrality of the Holocaust in Israeli identity is dysfunctional. ..

The Holocaust is a very real trauma for many people in Israel, and nobody can argue with that. But … when I hear someone like Benjamin Netanyahu, who is a very intelligent person, say of [Iran’s President Mahmoud] Ahmadinejad, “It’s 1938 all over again,” I say, is it?! Is this the reality? Did we have such an omnipotent army in 1938? Did we have an independent state in 1938? Did we have the unequivocal support in 1938 of all the important superpowers in the world? No, we did not. And when you compare Ahmadinejad to Hitler, don’t you diminish Hitler’s significance?

The sad thing is that whenever a head of state begins a visit to Israel, he doesn’t go to a university or to the high-tech sector or the beautiful cultural places we have in Israel; first you should get molded into the Israeli reality at [the Holocaust memorial] Yad Vashem. And I do not think that Yad Vashem should be the showcase or the gateway through which everybody should first encounter Israel. Part of the program, yes; but the starting point? This is not the way to baptize people into an encounter with Judaism.


You argue that the purpose of the Yad Vashem visit is to silence criticism…

It’s an emotional blackmail that says to people, this is what we have experienced, so shut up and help us… When the sages created the national holiday of Tisha Be’av, they made it the single day on which we commemorate all the traumas of our history, from the destruction of the first temple to the Spanish expulsion. These events did not all happen on this exact date; the founders of Jewish civilization confined the memory of the traumas of our history to one day, to allow us the rest of the year to get on with being Jewish, rather than letting sorrow take over our entire existence…

Look where we were 100 years ago and look where we are today — no other people made this transformation. Imagine we did not keep the shadow of the trauma looming over ourselves daily, what could we have been? How come 25% of the Nobel laureates in certain fields are of Jewish origins, and 10% of the arms deals around the world are done by Israelis? Why is my brother or sister in America a great poet or composer or physician whose achievements raise up all of humanity, and I who live here on my sword became a world expert on arms and swords? Is that really my mission, or is that an outcome of the black water with which I water my flowers? To make our contribution to humanity, we have to free ourselves of the obsession with the trauma.

Many Jews, in Israel and in America, see Israel as surrounded by deadly threats, and would see the benign and peaceful world you describe as a dangerous fantasy. What do you say to your critics?

I have very low expectations of new thinking and insight emerging from the mainstream Israeli and Jewish establishment. Their role is to maintain the status quo. Israel is bereft of forward thinking. We are experts at managing the crisis rather than finding alternatives to the crisis. In Israel you have many tanks, but not many think tanks. One of the reasons I left the Israeli politics was my growing feeling that Israel became a very efficient kingdom, but with no prophecy. Where is it going?

My idea of Judaism can be represented through a classic Talmudic dilemma: You are walking along by the river and there are two people drowning. One is Rabbi [Meir] Kahane, and the other is the Dalai Lama. You can only save one of them. For whom will you jump? If you jump for Rabbi Kahane because genetically he’s Jewish, you belong to a different camp than mine, because I would jump for the Dalai Lama. As much as he’s not genetically Jewish, he’s my Jewish brother when it comes to my value system. That’s the difference between me and the Jewish establishment in Israel and America.


But how can this new thinking you’re advocating help Israel solve its security problems?


Many people say to me, “What about Gaza? Don’t have so much compassion for them, don’t tell the Israelis to be nice there, tell [the Palestinians] to be nice there. And I say Gaza is a nightmare, and it’s a stain on my conscience. And I’m very troubled by the attitude of Israelis against Israeli Arabs. It’s a shame. It’s a black hole in my democracy. But I say sometimes that I’m too close to the reality; I don’t have the perspective; I don’t have the bigger picture. But if enough of my kids and enough of my youth will go to volunteer, be it in Darfur or be it Rwanda, or be it in the squatter camps of South Africa, they will sharpen their sensitivities. And they will come back and say, listen, if we can do so much good out there, let’s do something over here. And I see my own kids, when they come back from India and from Latin America, how changed they are as people. I see my son, after one and a half years in Latin American. He came home, and five days later, was called for 30 days “miluim” service [with his military unit] in the West Bank. And he was sitting in the worst junction in the West Bank. And he says, “When I look around me 360 degrees, nobody loves me. Settlers, Kahanes, rabbis, mullahs, Hamas, Palestinians, you name it — they all hate me. And he told me, “Here I was sitting on a corner one day; it was my break time, and I was drinking coffee with a friend of mine, and out of the valley climbed an old Arab. He was very bent forward and frail, and walked slowly to us and said ‘Here is my ID.’ And we told him, you don’t have to give us your ID; we didn’t ask for it. And he said ‘No, here it is, I want you to look at it. Look at it, I’m okay, I’m kosher, I’m kosher.’ I checked it and let him pass, and then I began crying and crying.”

So, I asked my son, why did you cry, what happened? And he said, “You don’t understand that for a year and a half, I was in Latin America, going to small villages and sitting with this kind of man, listening to their oral tradition, to the beauty of their history, to the wisdom of their culture. And they shared it with me. And now here I am, the policeman, here I am the bad guy, here I am the occupier. And I can’t talk to this man. You know how much he could tell me under different circumstances? ” And I say, that’s an example for me.





Stop Genoside in Palestine!

6 01 2009

Did you ever think before that all the battle for many years….. seems like an effort for killing the palestine descent until zero point? Isreali, no doubt, doing the genoside… like Nazi did. Whatever the reasons… even it for a land? or gas? or religion, idealism? we’re same. absolutely equal. we have the same right to live better…
Not only MTV Generation need to speak up ur mind for a simple thing, but we must care about that ‘massacre”! Everybody Please Speak Up!
gaza2520under2520siege252028ben25201

cry-palestina_2

Daud Vs Goliath

hamas

Hold the Gun, Not the Pen!

picture-1

How beautifull she’s in bridal gown

solidaridad_con_palestina

“Kebenaran itu dari Tuhanmu… maka jangan sekali-kali kamu meragukan-Nya”





Now… I Walk Into the Wild

1 01 2009

into-the-wild1Now… I Walk Into the Wild
“There’s a pleasure in the pathless woods,
There’s a rapture in the lonely shore,
There’s society, where none intrudes,
By the deep sea, and music in its roar,
I love not man the less, but nature more… “
(Lord Byron)

Mungkin diantara kita masih ingat dengan novelnya Jon Krakauer “Into the Wild” yang kemudian di filmkan dengan jeniusnya oleh Sean Penn. Merupakan kisah nyata tentang seorang pemuda yang baru saja lulus dari Emory University, Christopher McCandless, Mahasiswa cerdas dan kaya yang salah satu hobinya mengutip tulisan pengarang dunia, seperti puisinya Lord Byron diatas.

Ia lalu memutuskan untuk berpetualang meninggalkan dunia yang ia pikir sangat matrealistis dan manipulatif. Kemudian ia membuang semua atribut yang melekat di dirinya. Yang paling mengharukan ia mendonasikan $24,000 tabungannya untuk Oxfam, yang sedianya untuk membiayai kuliahnya di Harvard.

Dalam petualangannya Chris mengubah namanya menjadi Alexander Supertramp, melewati separuh negeri tanpa uang dengan tujuan utamanya Alaska. Ini bukan kisah tentang anak muda manja yang haus perhatian tapi tentang ambisi menentang sistem masyarakat yang rusak. Alexander Supertramp sendiri bukan sosok sociopat hingga mengasingkan diri ke hutan belantara.

Dalam petualangannya, ia banyak berinteraksi dengan sejumlah orang yang bahkan ia ingat hingga akhir hayatnya. Ia sendiri pernah berkata happiness is nothing without share. Apa yang dicari oleh pemuda ini di tengah dinginnya Alaska hingga berujung pada kematian? Ini pula kemudian yang mungkin kita tanyakan pada ribuan pendaki yang meregang nyawa di belantara.

Ada tujuh puncak di dunia yang dikenal dengan Seven Summits yang menjadi impian para pendaki. Ketujuh puncak tertinggi itu yaitu Puncak Everest (8.850 meter di atas permukaan laut/mdpl) di Nepal/Tibet yang mewakili Benua Asia, Gunung Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina (Amerika Selatan), Gunung McKinley/Denali (6.194 mdpl) Alaska (Amerika Utara), Gunung Kilimanjaro (5.963 mdpl) Tanzania (Benua Afrika), Gunung Elbrus (5.642 mdpl) di Elisworth Range (Benua Antartika) dan Puncak Cartenz Pyramid (4.884) di Papua Indonesia (BenuaAustralasia/Oceania).

Apa yang mereka cari? Identitas diri? Tentu itu hanya cemoohan orang-orang yang bingung pada apa yang dilakukan para petualang. Jangan pernah menyentuh alam jika kita tak mengenal diri kita sendiri. Entah apa yang akan alam lakukan padamu, karena lagi-lagi seperti yang dikutip Alexander Supertramp “nothing to help you, but your hands and your own head”.

Mungkin kita sudah jenuh dengan gaya hidup masyarakat perkotaan yang modern? Modernitas sendiri lahir dari ambisi pencapaian akan rasionalitas, emansipasi, kebebasan serta semboyan-semboyan masyarakat yang mengagungkan kemajuan. Tapi realitanya, produk utama dari modernitas adalah kapitalisme. Seperti sudah ditakdirkan, manusia-manusia yang hidup kini cepat atau lambat akan menjadi kapitalis-kapitalis dunia selanjutnya. Tentu kita sudah lelah dengan sistem ini ketika idealisme tak bisa berjalan beriringan dengan bisnis dan politik.

Mudah rasanya untuk terpesona pada etalase di sudut-sudut kota lalu mengejarnya. Modernitas memang lekat dengan laju pertumbuhan ekonomi yang pesat. Lalu kita lupa pada cita-cita kita yang utopis dan indah. Tentang alam dan keindahan. Tentang peduli pada sesama dan keluar dari segala kemunafikan.

Apa yang kita tuntut pada alam begitu besarnya hingga kita lupa untuk memberi. Jadi jangan salahkan alam jika bencana datang bertub-tubi. Apa kita masih sibuk mengampanyekan isu Global Warming disaat para kapitalis emoh membatasi produksi emisi negaranya? Kita masih sadar atau hanya terbawa trend. Karena kalau nggak tahu gobal warming, nggak gaul banget-kan?

Di alam kita tak lagi bermimpi tentang cinta dan damai. Karena semuanya nyata. Alam pula yang mengajarkan kita untuk melepas topeng kemunafikan dan bersama-sama mengangkat ransel. Kita lupakan perang dan kebencian. Bahkan kita akhirnya tahu seperti apa teman seperjalanan kita. Egois-kah?

Di antara tonggak-tonggak kematian di lereng gunung, kita sadar bahwa hidup ini begitu singkat dan jurang kematian hanya sebatas batu tempat kaki berpijak. Kita belajar untuk lebih humanis. Dan di waktu malam ketika kita berbagi kehangatan di secangkir kopi, kita sudah mengabadikan kata persahabatan.

Ini bukan hanya kisah Alexander Supertramp ataupun Soe Hok Gie, tapi ini adalah kisah kita. Bahkan kita masih sanggup mendengar orang berbicara atau menyindir tentang tujuan hidup. Sudah waktunya bagi kita mengumpulkan catatan-catatan perjalanan dan berbuat sesuatu untuk memanusiawikan dunia.

Catatan favorit saya, salah satunya adalah tulisan Rudy Badil tentang kata-kata sahabatnya, Soe Hok Gie, sebelum musibah di Semeru. “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

Tanah yang dingin atau kasur yang hangat, apapun itu kita akan mati.





Hello world!

1 01 2009

small_lady-in-red

Belum terlambat-kan buat mulai punya blog…. ? Salah satu resolusi gue  menyambut tahun  2009 yang i wish penuh harapan.  This would be a very seriuosly another promising a new blog! Do you know what i mean? I bet you Nope… coz’ i dont really understand what i say. Hahaha….

Enggak. Seenggaknya,  ini bakal jadi satu-satunya blog gue yang nggak nyertain mood gue yang  sering kambuhan. Kadang on kadang off,  kadang pengen nulis tapi seringnya cuma nyangkut di syaraf otak (kotor?), kadang unbelievable smart tapi kadang bego, dongo kayak junkie yang kurang nyandu…. unpredictable emotional syndrom.  Tuh,  nama ilmiah penyakit  kambuhan gue,  gejala awal dari sociopat… amit-amit… mending kudisan, panuan,  kurapan….

Di blog ini, gue pengen lo masuk ke dunia gue yang imajinatif (?) atau nggak keruan, kecintaan gue sama buku n’ film, pendapat gue yang nggak perlu jadi bahan pertimbangan seluruh penduduk dunia. Hiks. atau cuma sekedar berbagi jajanan di depan SD sampai singgah di tempat favorit gue. Somewhere that i’ve ever been before.

Buat gue bukan cuma buku yang jadi jendela dunia, tapi juga film. Pencapaian tertinggi dari imajinasi manusia. Hiks… Bayangin aja berapa banyak wawasan yang didapat dari, misalnya, 15 menit gambar berjalan? Lebih dari wawasan tapi juga emosi. Bahwa hidup ini bukan cuma milik kita, tapi juga milik pedagang sayur keliling, waria di pinggir jalan, presiden yang sedang jatuh cinta atau bahkan milik hantu yang ingin bangkit dari kubur. he… he… he…

Itu yang gue suka dari film. Mereka menjual mimpi karena hidup ini butuh mimpi. Butuh sejenak keluar dari realitas yang ada, lalu harapan dan inspirasi “sikut-menyikut” keluar dari otak kita. Tapi jangan bayangin ada sejenis mutant dari galaksi lain yang bermutasi di tubuh kita… itu mah cuma ada di the-x file.

Di blog ini gue mau bilang “i’m a movie freak!” lepas dari selera film gue yang nggak jelas, terserah deh ada yang mau baca atau nggak…. direspons atau enggak…. kalau dulu Voltair bilang pena bisa meruntuhkan sebuah negara, begitu juga dengan film. Hiks… sampe segitunya.. yang pasti kepala kita terlalu sempit untuk menampung ide dan imajinasi. Rongga-rongga di kepala cuma cukup untuk saraf-saraf otak, bukan Gotham City atau London abad pertengahan atau juga lorong-lorong kumuh Jakarta. Thanks for make it happen.

Lo-Tau-kan (kedengarannya kayak nama masakan di restoran Cina yah..) Soundtracknya “Mengejar Mas-Mas”? Ibaratnya, gue cinta film tuh seperti…. Aa’ cinta istri baru… oops… seperti Junkies cinta shabu… oops… atau seperti lalat cinta daging… asal jangan daging gelonggongan atau daging sampah olahan! Lalat aja masih bisa milih. Pokoknya mari bermimpi dan bercinta… Uhh i mean watch movies. Dukung terus film Indonesia tapi tetep nikmati film luar donk. N’ yang paling penting “Stop Piracy! Hidup Kaum Marjinal!” (???)

Bienvenue dans ma vie……