Rasanya sulit menolak hasrat menuliskan kembali catatan perjalanan saya dan teman-teman IKAMASI di Merbabu. Mungkin karena pagi ini saya melihat keindahan Merapi-Merbabu dari jendela kamar saya. Man, i was such a greatest hero ever, menyelamatkan tenda kami dari serbuan lutung-lutung gunung yang nggak beretika! Jadi simpan dulu pisangmu atau nugget-mu itu, karena cerita masih panjang.
Akhir Juni 2007, lagi-lagi saya seperti setengah menderita schizopren, merasakan serbuan kabut tipis dementor tepat di depan pintu kos saya. oke i’m ready to the Azkaban. Nun jauh di atas sana Merbabu yang kalah populer, merasakan keasingan yang begitu akrab.
Jadi sore itu, saya sudah berada di Sekre kami. Rencananya jam 3 kami sudah berangkat dari Jogja. Tapi tau-kan? Gimana tingkah polah teman-teman mahasiswa yang sok penting itu. Percayalah, saya sudah berkawan akrab dengan ini. Huhhhhh ngarettttttt.
Molor. Tapi nggak pake zzzzzZzzzz….
Personil sudah lengkap. So what??? Bla.. bla.. bla.. ternyata tenda kami terlalu kecil, nggak bisa menampung kami ber-8. Tuh kan, bener-bener kacau n’ nggak wellprepared. Mau berangkat tapi kami masih harus berkutat putar otak jungkir balik pake nungging segala (hhhfffff) mencari pinjaman tenda.
Lalu dengan pede-nya, sumpah ini pede banget, teman kami Mr.Cribs membawa-bawa tenda Dora hijau dekil dengan bangganya. Menurutnya itu solusi paling brilian. Lo tau-kan? tenda mainan anak-anak yang suka dijual abang-abang di pinggir jalan. Yupp, benar itu sama kayak yang lo pikir. Insane.
Ya ampun my man, did you ever think it not stronge enough out there? Itu kan cuma muat buat Spongebob sama Patrick.
Lepas maghrib begitu masalah tenda sudah teratasi, kami berangkat menuju lokasi. Dengan 4 motor, muter dulu lewat gamping pake acara hilang personil segala. Maklum penyakit rabun ayam lagi mewabah.
Hujan lagi. Dan saya lagi-lagi nggak waras. Jadi belum sampai Magelang, sekali lagi kami harus berteduh di Halte. Petir yang nggak setengah-setengah nakutinnya. Saya harap ada Flash Gordon yang membawa kami semua dengan cepat ke tempat aman. Tapi nggak ada-kan? Jadi saya cuma berdoa, Yaa Tuhan kalau Engkau mau menurunkan hujan, turunkanlah. Tapi nggak pake deres.. ada petirnya lagi. Saya takut.
Begitu hujan reda kami langsung tancap gas. Udara malam yang lembab, saya seperti sudah merasakan dinginnya hembusan angin gunung kalau saja saya lagi-lagi tidak dibawa kegilaan yang sesat.
Oh shiiiiiitttttttt… How could you do this to me!
Kami berakhir di tikar angkringan alun-alun kota Magelang. Lama-lama saya muak dengan romantisme angkringan ini. Diameter perut saya sudah bertambah 3 cm karena Teh Panas! Dan kami mau-maunya nurutin kemauan Kipli, biker kami. Sesuai kode etik klub motor, sebagai ketua yang berdedikasi, menurutnya dia berkewajiban menjalin relasi dengan klub motor kota lain. Hffff…
Quote of the day #1 : Jangan tergesa-gesa dengan anggota geng motor kecuali anda disalip.
Rasanya rencana pendakian itu tinggal rencana. Mood udah terbang melayang. Apalagi malam itu kami berakhir di serambi Masjid, bergelung diatas lantai yang dingin. Oh My God, seperti baru keluar dari cerita guru agama saya waktu SD. Pak mawardi yang ekspresif dan konyol, dengan bangga menceritakan kearifan dan kebaikan hati sesama muslim pada musafir. Tapi kan kami nggak menunggang unta dan menyusuri padang pasir! Berpeluh keringat membawa pesan dari surga. Kami cuma korban konspirasi genk motor. Arrrggghhhhhh….
Dalam hati lagi saya berdoa, Yaa Tuhan semoga iler Amir Mahmud itu nggak mengandung lemak babi.
“Meru” dan “Abu”
Whuaaaatttttt?!!!!
@#$%^&*())_+#….
Saya nggak abis pikir. Saya pikir Mahenk lebih capable mengurus logistik kami. Oh come on Guys, kita bukan sekedar tamasya ke Pantai tapi berpetualang di Gunung. Masa’ di pagi yang lembab itu sempet-sempetnya kami mesti belanja perbekalan di salah satu pasar di Kabupaten Magelang.
Saya sudah melipat muka saya jadi bangun ruang simetris. Horeeee… Akhirnya saya berhasil menerapkan prinsip matematis dalam hidup. Nggak sia-sia mati-matian belajar, saya mulai percaya saya jenius. Semua itu karena ulah teman-teman saya ini. Cemberut sepanjang jalan yang akhirnya membawa kami tersesat di kebun tembakau. Hueekkk baunya nggak enak!
Monggo pinarak!
Terus-terusan kami ditawari singgah. Attitude pribumi yang membuat Indonesia terkenal di mata dunia karena keramahtamahannya. Saya merasa benar-benar ada di Indonesia. Heran, sedetik kemudian jadi malu. Egois, sinisme, individualitis, matrealistis, hedonisme seperti menunjuk-nunjuk hidung saya.
Mengambil jalur pendakian Wekas, kami menuju desa terakhir di lereng Merbabu. Jalanan terus mendaki, jadi kami yang dibonceng harus menumpang mobil bak terbuka yang penuh petani sayur dan sayurannya itu. Haha.. untung nggak kambing dan ayam kayak sinetron-sinetron lebay. Saya, Mr. Cribs, Restu dan Amir Mahmud berbagi tempat duduk dengan kol dan wortel. Merasakan angin diantara deretan cemara hutan serta hamparan kebun sayur.
I’m the supertramp. Yuhuuuu… you can’t deny it. Saya merasa sedang berbicara dengan wortel segar bebas pestisida itu. Haha.. saya bahagiaaaa sekali.
Pukul 10 kami mulai berangkat dari Basecamp. Begitu dimulai, jantung saya seperti mau lepas dari tempatnya. Gilaaa nanjak terus, masa nggak ada basa-basinya. Eurggghhhhhhh saya ngantuk dan kurang tidur pengen balik ke base camp rasanya.
Deretan hutan pinus yang sudah kehilangan pesonanya di mata saya. Jalur pendakian ini lebih popular karena dianggap jalur terpendek namun trek yang dilalui cukup merepotkan. Terus menanjak tanpa ada daratan luas yang membentang.
Tiba di Pos I yang masih ramai karena dekat dengan pemukiman penduduk dan perkebunan rakyat. Saya nggak merasakan keindahan sepanjang perjalanan. Makan ati karena terus-terusan ditinggal cowok-cowok yang terobsesi menunjukkan sisi macho-nya. Untungnya ada Amir Mahmud yang baik hati yang setia berjalan di sisi saya. Meski kami tertinggal jauh di belakang.
Cuma tanah yang gembur dan batu yang dimuntahkan ratusan tahun yang lalu. Itu sebabnya dinamakan Merbabu, Meru yang artinya gunung dan Abu, dahulunya adalah gunung berapi, satu dari rangkaian ‘ring of fire’ Pasifik. Sepanjang perjalanan nggak ada pemandangan menakjubkan yang bisa dinikmati. Pantes aja kamu jadi anak tiri Merbabu. Keindahan macam apa yang bisa kamu tawarkan?
Jadi saya terus bersusah payah mengejar teman-teman sekaligus mendengar celotehan Amir tentang pendakian sebelumnya juga passion-nya menjadi bintang film. He..
Pos Kedua. Dataran paling luas yang bisa kami temui selama pendakian. Ditumbuhi pohon yang besar-besar dan alang-alang. Saya curiga disanalah habitat macan tutul Merbabu yang hampir punah berada.
Kami mendirikan tenda disana. Saya lupa persisnya jam berapa kami tiba. Lapar dan kelelahan. Jadi sementara teman-teman memasang tenda, saya berinisiatif membersihkan peralatan makan kami. Ridiculous. Entah dimana saya taro otak saya, hfff mungkin di penggorengan, bukannya air yang saya tuang ke tumpukan alat makan itu tapi minyak tanah.
Bego. Bego. Bego.
Saya melihat mata-mata kelaparan menuduh saya. Ampuuuuunnn.
Jadi cepat-cepat saya cuci bersih piring-piring kami ke pipa air yang bocor. Nggak beracun-kan? Sedikit minyak bumi kata orang cina obat mujarab untuk mengatasi sakit perut.
Tes.. tes..
Rasanya bukan iler Amir Mahmud yang jatuh berceceran ke muka saya-kan? Oh shiiittttt tenda kami bocor dan hujan lagi-lagi memilih saya jadi sahabatnya. Yaa Tuhan kalo mau kasih hujan nggak pake bocor ke muka dong.
Malam yang dingin. Dingin beneran bikin kebelet pipis. Nggak ada sesuatu yang berarti apalagi pemandangan yang bisa kami patri. Diluar sana hujan rintik-rintik dan anginnya cukup bikin pusing. Apa jadinya coba kalo tenda Dora itu dibawa? Dalam hati saya tertawa puas.
Cuma kabut tipis yang perlahan menuruni lereng, bukan dementor. Sumpah saya cuma bercanda mau mengunjungi Azkaban. Tapi anginnya itu loh.. lagi-lagi memamerkan suara mistisnya. Jadi saya duduk terjaga, begitu juga Mr. Cribs dan Amir Mahmud. Dan ketika yang lain bergelung malas persis Garfield yang kekenyangan, saya jadi ingat pesan penting teman saya dalam momen ini. Katanya saya harus membuat confession. Did I really fallin’ in love? Shhhhhh I’m not that insane.
Saya ingin menyanyi memecah kesunyian waktu itu. Tapi malu, kemungkinan besar udara dingin bakal bereaksi dengan getaran yang timbul dari pita suara saya. Emberrr, suara saya tidak lagi jazzy (haha hueekk) tapi bervibra dengan gigi gemeletuk. Kecepatan getaran harmonik dan gelombang yang nggak sinkron yang bahkan Newton-pun bakal bingung menghitungnya. Ck ck ck kebanyakan bergaul dengan anak fisika emang bikin ego ini jadi besar. Sok tau.
Ahaaa, jadilah malam itu kami isi dengan acara masak-memasak.
Such a silly adventure…
Pagi yang manis sekali. Sudah ada kopi di depan saya. Meski Mahenk mencaci maki muka saya yang mencong-mencong, saya nggak peduli yang penting kopi itu harus jadi milik saya. Nggak heran mengapa kopi menjadi salah satu penemuan penting di abad ke-8. Caffeinnya bisa bikin orang jadi waras, mungkin kelakuan kami pagi itu mirip kambing-kambing gembala Kaldi yang jadi lebih agresif dan bersemangat karena menelan biji kopi..
Saya jadi bisa melihat keindahan hamparan bukit di bawah sana. Merapi yang persis di seberang kami. Gumpalan awan-awan yang membawa Nobita dan teman-temannya terbang.
Sudah diputuskan saya dan Dean yang menjaga tenda. Mr. Cribs, Mahenk, Restu, Amir Mahmud, Kipli dan XoXo melanjutkan pendakian hingga puncak.
Jadi saya ucapkan selamat tinggal pada sensasi yang menanti kami di atas sana. Puncak Merbabu yang berada pada ketinggian 3.145 meter di atas permukaan laut. Salah satu gunung berapi yang sudah tidak aktif lagi. Menurut catatan sejarah Belanda, gunung ini pernah meletus pada tahun 1560 dan 1797.
Semakin ke puncak jalur pendakian makin melebar hingga pemandangan yang tersaji begitu indah. Berjalan diantara sisi lereng dan gunung-gunung kecil. Saya membayangkan teman-teman di atas sana berlagak mirip Ninja Hatori membelah lembah, melewati padang rumput savana yang indah. Jika beruntung kita bisa menemukan hutan edelweiss yang abadi itu.
Sementara yang lain muncak, saya dan Dean mulai bersih-bersih tenda. Menjemur jaket yang basah semalaman. Huhhh, kami mirip sepasang manusia pra-sejarah penjaga gua sementara yang lain pergi berburu. Nggak keren banget deh. Tapi hebatnya saya kembali mempraktekkan keterampilan mengiris sayur disini. Menyiapkan hidangan sebelum yang lain pulang.
Wajahnya inosen sekali. Saya merasa iba. Ucap saya dalam hati.
Wajahmu mengingatkanku pada kekasih yang saya tinggal dulu. Desis Dean penuh perasaan, dalam hati juga.
Kami melempar pandangan riang gembira melihat seekor monyet yang muncul dari rimbunan pohon. Ihhhh lucu banget, sambil dadah-dadah lagi.
Jadi Dean yang setengah jatuh cinta itu mulai mengeluarkan nugget kami. Melemparnya dan Ooopss, horeeee nugget-nya berhasil ditangkap. Eh datang satu lagi, Dean kembali melempar. Lalu datang lagi yang lain, kembali Dean melempar satu. Oh Gosh ini sih udah keterlaluan.
Tiba-tiba kumpulan monyet-monyet muncul bergerombol dari balik alang-alang. Saya merasa seperti Jean yang diserbu kumpulan monyet Afrika yang ganas dan kelaparan. Dan shhhhhhh Tarzan disamping saya ini cuma bisa melongok takjub, sedetik kemudian ketakutan.
Ya ampun Mr. Tarzan coba monyet-monyet ini diberi kursus kepribadian! Nggak sopan tau melotot kejam kayak gitu. Tobaaaatttt, kami seperti sedang dikepung Densus 88.
Saya langsung inget tayangan National Geographic tentang kanibalisme monyet. Perlu ke psikiater kali tuh lutung. Oke, jadi ketika Tarzan bukan lagi the hero, saya nggak boleh panik. Saya harus tunjukkan otoritas saya sebagai manusia! Predator no. 1.
“Oke, Tarzan. Kamu disini jaga tenda jangan sampé ada yang dicuri. Saya cari bantuan ke tenda sebelah.”
Kebetulan ada Mapala UPN yang membangun doom tak jauh dari kami. Saya berlari mencari pertolongan.
“Tolong.. toloooong… kami diserang monyet,” saya mengiba-iba mirip artis reka ulang korban KDRT di acara Sergap.
“DIMANAAAAA?!” teriaknya sambil mengacung-ngacungkan golok.
Widihhhh tenang Bang. Abang Pitung satu ini semangat sekali! Saya langsung tahu kalo Si-Abang paling anti sama Darwin dan Teori Evolusi-nya. Haha.. sabar Bang, monyetnya belum mirip dirimu.
Lalu desisan dibalas desisan.
Teriakan dibalas teriakan.
Plototan dibalas plototan. Nggak lupa golok si-Abang diacung-acungkan ke langit.
Saya dan Dean menonton sambil bertepuk tangan. Halaaah lebay.
Horeeee monyetnya pergi.
Sebelum si-Abang pergi meninggalkan tenda, Dean tiba-tiba nyeletuk. “Maap ya temen saya ini parno, padahal sudah saya usir-usir monyetnya.”
Whuuuuaaaaattttt???! Bener-bener nggak sopan!
Lipatan simetris itu kembali muncul. Masih kesel karena Dean merasa lega dan bebas tidur sementara saya masih harus berjaga-jaga. Siapa tau monyet-monyet itu kembali dan membangun taktik yang lebih kejam. Dengan novel Coelho ditangan, saya masih setengah khawatir. Hhhfffff Emang ada yah korelasi antara Coelho dan monyet merbabu? Dan diantara syair-syair Nabi Daud dalam novel itu, beberapa monyet kembali ke tenda kami. Mengorek-ngorek sisa makanan.
Reaksi Dean cuma kaget lalu zzzzz molooor lagi. Apa jadinya coba kalo tenda kami dicabik-cabik!
Saya sudah nggak sabar mengadukan bencana yang menimpa saya begitu teman-teman kembali ke tenda. Dengan santainya Dean ngomong, “gue ngelindungin Ina dari monyet-monyet!”
Hahhhhh!!!!! Nggak kebalik tuh.
Saya ogaaaahhh berbagi sendok dengan Dean. Tapi lega karena nggak ada yang keracunan memakan masakan saya. Saya memasak sarden itu dengan cinta tau! Haha… akhirnya saya benar-benar bisa memasak. Horreeeee…
Hmmm iri bukan main mendengar pengalaman sampai ke Puncak. Dari atas Puncak kita dapat memandang Merapi yang angkuh, nampak dekat sekali. Ke arah barat tampak Gunung Sumbing dan Sindoro bersanding indah. Di sisi lain ada Gunung Ungaran. Dan dari kejauhan ke arah timur tampak Gunung Lawu.
Tapi saya juga nggak menyesal diserbu monyet-monyet konyol itu. Sore-nya kami bergegas mengemasi barang-barang kami. Dengan sedikit kengototan barangkali. Dan Mr. Cribs memelototi saya seolah-olah usul saya paling nggak masuk akal sedunia. Turun gunung detik ini juga! Saya nggak mau menggigil kedinginan di sini lagi tau!
Sedikit menyesal karena setengah perjalanan menuruni Merbabu dilalui ketika langit sudah gelap dan kami mesti ekstra hati-hati. Saya bahkan nggak bisa melihat dengan jelas. Tapi untungnya malam itu juga kami tidur dibawah atap, masih dingin juga, nggak kebayang deh dinginnya kalau kami ada di dalam tenda Dora.
Keesokan harinya, Jum’at yang cerah, kami meninggalkan Basecamp. Benar-benar perjalanan yang indah. Terima kasih Tuhan, yang saya sesalkan cuma satu, siapa yang akan memberi monyet-monyet itu nugget lagi?
*Foto Dokumentasi IKAMASI
Komentator…