“Bekasi, A Missing Identity”

24 01 2010

Saya bisa merasakan secercah emosi ketika membaca testimonial seorang saksi sejarah bernama Saih di sebuah blog. Laki-laki tua yang menjadi saksi sekaligus korban selamat dari Pembantaian Rawagede yang menewaskan 431 orang. Beliau menuturkan, pada 9 Desember 1947, dirinya berhasil selamat setelah berpura-pura mati ketika pasukan Belanda memberondong semua penduduk laki-laki dengan senapan.

Aksi pasukan Belanda itu terjadi ketika Belanda melancarkan Agresi Militernya yang pertama. Untuk menumpas laskar-laskar perjuangan rakyat dan unit pasukan TNI khususnya Divisi Siliwangi yang berulang kali menyerang pos-pos pertahanan Belanda, maka pasukan Belanda mulai melakukan sweeping kawasan Bekasi yang menjadi salah satu basis pergerakan. Akibatnya, penduduk terdesak hingga ke Karawang. Rawagede, daerah perbatasan Karawang-Bekasi di sanalah aksi keji itu berlangsung.

Pembantaian itu sendiri merupakan kejahatan perang dan jelas-jelas melanggar HAM namun setahu saya belum ada sanksi atau tindakan hukum kepada Pemerintah Belanda hingga saat ini.

Kisah heroik diatas hanyalah sekelumit sejarah yang jarang sekali kita temukan di buku sejarah. Sebuah catatan sejarah yang terlupakan. Terkadang memang sejarah tak pernah luput mengikutsertakan kepentingan yang bermain di belakangnya.

Kota Patriot?

Beberapa tahun yang lalu ketika hendak menyusun tugas akhir, saya sempat bertanya-tanya sendiri. Kenapa Bekasi, sebuah daerah yang begitu strategis, kota satelit bagi ibukota negara, maju akan industrialisasi dan sektor jasa, serta kawasan potensial bagi jutaan migran dari seluruh Indonesia mendapat kehormatan sebagai Kota Patriot.

Tentu saja saya masih ingat tentang romantisme puisi Karawang-Bekasi itu yang begitu menggugah semangat juang. Begitu juga kisah para pejuang yang tak pernah dituliskan namanya dalam sejarah perjuangan rakyat Indonesia, seperti dalam salah satu novel terbaiknya Pramoedya Ananta Toer “Di Tepi Kali Bekasi”.

Sepertinya ada yang salah, kurang tepat dan tidak pada tempatnya. Kenapa nggak sekalian saja diganti “Bekasi Kota Patroli” mengingat maraknya aksi kriminalitas atau “Bekasi, Your Next Destination Citymengingat suburnya bisnis properti dan migrasi besar-besaran penduduk dari luar Jakarta. Padahal, jika kita telusuri nilai strategis Bekasi saat ini sebagai gerbang menuju ibukota, begitu pula pentingnya peranan Bekasi di masa lalu. Jadi tutup saja buku sejarahmu itu, karena sejarah Bekasi lebih banyak kita temui di sekitar kita jika kita mau peduli.

Belasan tahun saya pergi ke sekolah melewati monumen simbol perjuangan rakyat, tapi apa saya pernah tergugah? Saya lupa seperti apa persisnya perasaan saya saat itu. Bertahun-tahun saya menunggu kereta yang membawa saya ke Jogja tanpa tahu nilai historis Stasiun Bekasi. Melihat Kali Bekasi yang airnya selalu tenang bahkan cenderung kekeringan, tapi herannya rumah saya sering kebanjiran, padahal disanalah banyak episode perjuangan rakyat berlangsung. Suatu kali saya bahkan dibuat tak percaya melihat bambu kurus kerempeng dengan warnanya yang pudar ditengah-tengah perempatan, menurut penduduk sekitar bambu itu adalah monumen perjuangan rakyat ketika melawan penjajah.

Miris sekali rasanya melihat kemajuan Bekasi jauh melangkah meninggalkan identitas yang membentuk karakter kota ini. Guru sejarah saya semasa sekolah hampir-hampir tak pernah menyebutkan pergolakan sejarah di Bekasi secara kongkret. Pertanyaan-pertanyaan itu membuat rasa ingin tahu saya makin membesar, dari berbagai sumber saya menemukan sejarah Bekasi sudah diukir jauh sebelum era kolonial dimulai. Bekasi sejak awal memang merupakan kawasan strategis hingga menjadi pusat Kerajaan Tarumanegara.

Dalam bundel arsip surat kabar di Perpustakaan Nasional RI, saya menemukan cerita bersambung di salah satu surat kabar waktu itu tentang jawara-jawara di daerah Tambun. Tak diragukan lagi, Bekasi memang terkenal akan semangat patriotismenya. Begitu juga catatan sejarah tentang peristiwa Bekasi Lautan Api. Dosen saya bahkan menuduh saya mengada-ngada tentang peristiwa itu.

Identitas sebuah bangsa adalah cerminan dari karakter orang-orangnya, begitu pula halnya dengan sebuah kota. Bekasi yang dikenal dengan sebutan kota patriot merujuk pada patriotisme, sifat tangguh dan pantang menyerah penduduknya. Sebuah basis pergerakan rakyat yang terkenal akan laskar-laskar perjuangannya. Kini hendaknya kita mawas diri, masih pantaskah gelar tersebut dipakai sementara semangat patriotisnya sudah tumpul terkikis modernitas.

Ini bukan primordialisme, hanya saja mungkin kata-kata “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya” terlalu klise, keinginan saya hanyalah mengembalikan identitas Bekasi yang pudar. Penghargaan kepada para pejuang seperti sebuah museum yang mengabadikan jutaan momen di tanah kita.

Saya percaya pejuang-pejuang yang terpinggirkan seperti dalam novelnya Pramoedya atau kesaksian Pak Saih, suatu waktu akan menjadi catatan sejarah yang tak pernah dilupakan.

History is a guide to navigation in perilous times. History is who we are and why we are the way we are (David C. McCullough).





Bukan Cewek Manja, We’re Supertramp and SamsonWati…

24 01 2010

Saya termasuk orang yang nggak percaya kalau modernitas-lah yang berperan dalam pencapaian emansipasi wanita. Saya malah cenderung berpikir bahwa emansipasi itu sudah ada jauh sebelum manusia mengenal propaganda dari kaum feminis, deklarasi kemerdekaan bangsa, bahkan jauh sebelum ditemukannya tulisan.

Perempuan di setiap zaman, di tiap bangsa, memiliki catatan sendiri tentang perjuangannya. Sejarah mencatat sejumlah nama-nama ratu dan tokoh perempuan yang mengubah dunia… Yang unik bahkan wanita sejak zaman pra-sejarah terkenal akan kemampuan berburunya. Tapi jika kita mau lebih terbuka dan mengamati sekeliling kita, perempuan memiliki caranya sendiri untuk berjuang, malah menurut saya perempuan lebih mampu keluar dari krisis ketimbang laki-laki.

Saya percaya Tuhan memberi kekuatan maha besar pada umatnya, jadi ketika sebagian orang konservatif mencibir bahwa emansipasi itu adalah produk dari patriarki, bahwa perempuan tidak mengerti kemauannya sendiri? Bahwa perempuan tidak mampu mengambil keputusan untuk dirinya sendiri? Non sense.

Widiwww.. kenapa jadi mirip kuliah pengantar feminisme? Padahal saya cuma mau menuliskan catatan perjalanan saya dan seorang teman membelah kota Bandung. Nggak ada yang beda karena acara jalan-jalan kami mirip dengan rute wisata lainnya. Yang menarik adalah cara kami melewati hari itu, undeniable funny things ditambah dengan cerocosan dari mulut kami berdua sepanjang perjalanan itu. Pernah nonton Before Sunrise / Before Sunset? Nggak jauh beda-lah sama film itu, sayangnya teman saya itu nggak seganteng Ethan Hawke. Hehe..

She used to be a SuperGirlz

Beep. Beep <actually, it was just grrrrrrrr –vibrate active->

AKU DAH DI CIPULARANG!

Jam 7.30 pagi saya dibangunkan SMS yang bernada peringatan itu. Rencananya hari itu, di hari Minggu terakhir bulan Desember, hari Minggu terakhir juga di tahun 2009 yang seharusnya terang benderang karena kota Bandung habis diguyur hujan semalaman, akan dihabiskan bareng teman kuliah saya dulu di Sastra.

Orang ajaib ini amat sangat disiplin dan teliti, tidak menolerir sedikitpun keterlambatan. Pemarah dan mudah sekali naik pitam. Arrrrrrrghhhh… Ngantukkk… Jadi dari pada diceramahi tentang etos kerja separuh penduduk Indonesia yang malas dan nggak menghargai waktu, saya buru-buru mandi.

Byurrrrrr…

Shitttttt… Beruang kutub aja bakal kedinginan mandi pake air ini. Bukannya Bandung udah panas? Mana efek global warming? Udah nggak zamannya lagi kan menggigil-menggigilan di Bandung? <Lupa kalau semaleman hujan deras>

Jam 8 tepat di tempat yang dijanjikan. Saya masih sempat menyetop angkot yang sepi, yang isinya cuma ada saya dan abang sopir. Jalannya pelan sekali, sekalian mencari penumpang… Hmm segar banget persis Bandung tempo doeloe, aroma kayu dan es, sambil terus memandangi deretan rumah peninggalan kolonialisme. Dulu saya sering membayangkan bagaimana rasanya tinggal di salah satu rumah bertembok batu yang dingin itu. Sayangnya, saat ini sebagian rumah-rumah itu disulap menjadi factory outlet.

Teng.. Teng.. <actually the sound was perfectly identic>

Misa minggu pagi dimulai dan saya duduk tepat di seberang gereja itu. Hfff lagi-lagi saya membayangkan sedang berada di alun-alun depan gereja katedral di Milan. Oh my God, where’s the hell that hell_girl?

Jarang-jarang saya dan teman saya ini bisa bertemu, selain tinggal di kota yang beda and oh shit everything’s change and we’re not a same person anymore. Salah satu perempuan kuat yang pernah saya kenal, jadi dengan bangganya dia membaptis dirinya sendiri dengan nama SuperGirlz. What? Gee… Selain karena pernah menenggak habis 1 gelas kopi purwaceng, si-SuperGirlz ini punya kemampuan menyedot energi orang haha.. jadi nggak heran dia bisa mendaki bukit lewati lembah. Atas musyawarah bersama, teman-teman kami memanggilnya SamsonWati.

“U’re Not gonna do ths to me! Buruan datang sebelum gw dtawar org!!!”

grrrr.. grrrr.. <I’ve already tell ya>

“Kalo ada yg mrp Marlon Brando, sikaaattt ajahhh…”

Arrrgggggghhhhhhh….

Perjalanan ini baru saja dimulai tepat ketika SamsonWati turun dari DAMRI, berjalan penuh semangat ke tempat yang dijanjikan. Taman Dago. Persis di samping fly over, itu loch yang ada huruf D-A-G-O gede-gede. Taman model gini nih kalo di Jakarta udah dijadiin tempat mangkal waria. Eitt,, yang ngerasa waria jangan marah dulu, marah sama pemerintah sana, minta donk tempat yang lebih representatif buat eksistensi lo.

Kekeuh dan nggak bisa diganggu gugat. Ke Saung Angklung Mang Udjo. Karena cuma tahu satu-satunya cara ke sana naik angkot jurusan Cicaheum-Ciroyom dan mulai percaya kalau orang Bandung sendiri sering nyasar di kampung sendiri, jadi dari Taman Dago kami mulai berjalan menuju Gasibu. Pusat Keramaian, angkot mana sih yang nggak lewat situ? Bener nggak?

Perjalanan kami dimulai dari tempat ini <Taman Dago>

Tour de Gratuit

Desa kecil tak populer itu namanya Purwakarta. Ceritanya, dibalik kenikmatan dunia akherat yang ditawarkan pekerjaannya <ini dia sendiri yang bilang, kepedean..>, dirinya merasa terperangkap, bisa juga jiwanya. Pasti bulu ketek-nya dicabut sama kompeni bisa-bisanya SamsonWati ketangkep <Samson Anak Betawi, Benyamin S.>. Tahu nggak Sam kalo Gus Dur pernah berniat mindahin ibukota RI ke Purwakarta? Nggak usah ngeluh. Jadi supaya dirinya nggak jauh dari peradaban hampir di setiap weekend SamsonWati menyalurkan kekuatannya. Hehe.. Salah satunya ya jalan-jalan di Bandung ini.

Rame euy. Jadi inget Sunday Morning di Jogja, cuma di Gasibu ini ribet, nyampah lagi. Susah buat menikmatinya. Jadi saya dan SamsonWati cuma beli CiLok dan Cimol yang ajaibnya, oh gosh, ini karet apa sendal?

Bener-kan, dari sini kami bisa langsung naik angkot ke Cicaheum. Atas rekomendasi seorang Ibu katanya begitu turun dari angkot, naik aja ojek ke Saung Mang Udjo cuma dua ribu. Ternyata letaknya nggak jauh-jauh amat, setelah jadi kernet dadakan, langsung tancap gas by ojek. Pantessss murah, orang deket bener.

Ini konspirasi <saya bergumam dalam hati>

“Kami jauh-jauh dari Jogja Mbak,” <Sam ngotot pengen masuk>

“Maaf, tapi tempatnya sudah di booking sama ITB,” <Eneng Penjual tiket>

#$%&'()*@<=??!!! <Lagi, Si-Eneng dalam hati, bete kayaknya>

“Trus, apa yang bisa kami lihat disini?” <Sam mengeluarkan nada yang nggak bisa ditolak semua makhluk>

Akhirnya kami diperbolehkan melihat-lihat gallery.. ahhh ini siy standar kayak gallery di tempat-tempat wisata seluruh Indonesia. Kami kan mau main angklung. Ternyata letak aula pertunjukannya tepat disamping gallery, acara baru aja dimulai. Tiba-tiba saya punya ide, apa susahnya sih jadi peserta illegal, nyelip dua orang diantara ratusan peserta, kalo ketauan tinggal keluar. Hehehe… amin, kata si-Sam.

Rasanya kembali jadi anak SD, ingat dulu mama pulang dari kantor bawa seperangkat Angklung. Lengkap dari yang paling besar sampai yang terkecil. Lengkap juga penderitaan mama ngajarin anaknya yang lemot.

Pertunjukan Angklung di Saung Angklung Mang Udjo

HOREEEEE saya bisa main ‘Burung Kakak Tua’

Saya dapat angklung bernada Re… oh, I love Re since then… Si-Sam bahkan sudah nggak duduk di samping saya. Jeprat-Jepret dengan kamera andalannya. Cihuyyy gratisan niy.. belakangan saya baru tahu tiap orang dikenai biaya 50 ribu buat ikut serangkaian acara disana.

Tour de Gratuit Part Deux…

Jam 12, kami jalan ke tempat angkot tadi, jurusan apa saja-lah yang penting jalan dulu. Seperti biasa, angkot yang kami tumpangi milik pribadi… kemana sih orang-orang Bandung? Pantes macet, seperti masyarakat perkotaan lainnya, kendaraan pribadi sudah jadi kebutuhan primer.

“Suerrr Na, Vera pernah masuk sampe ke atas,” <Sam lagi-lagi ngotot>

Siapa yang percaya coba? Gedung sate ini, yang simbol kota Bandung, dibuka untuk umum. Ini kan kantor Gubernur Jawa Barat? Bukannya ini tempat demo? Tuh liat, kawat di keliling pagarnya aja segede-gede urat Gatot Kaca, fiuhh belum lagi pintunya dikunci pake rantai segede Gaban.

BREEEETtttttttttttt srtttttt <Anybody please help me to describe it>

Rantai yang saya pegang lepas. Yeah yeah yeah… the door opened and Alice got her new adventure. Tanpa ba-bi-bi kami masuk diikuti sejumlah wisatawan lainnya. Ngeri juga, begitu sampai di depan pintu masuk Gedung Sate, kami dihadang petugas. Dengan alasan datang jauh dari jogja dan faktor si-bule Perancis yang ada di depan kami, alhamdulilah nggak sia-sia, just come on in.

Untungnya lagi, kami dapet tour gratisan selama di gedung itu, diajak naik ke atap. Melihat Bandung dari teras puncak gedung 6 juta gulden ini. Wow, pemandangan kota Bandung yang mendung. Kami juga boleh memakai teropong yang ada disana. Karena terpisah dari rombongan, kami harus melewati ruang yang sepi dan gelap. Suerr jadi horror, kayak masuk ke House of Wax.

Teman saya, si SamsonWati ini ternyata sangat romantis, sempet-sempetnya dia ngebayangin acara pesta dansa di ballroom gedung itu, dulu.. dulu banget di zaman kolonial. Di dalamnya sekeliling ballroom, ada pilar-pilar gaya romawi serta ornamen kayu yang masih asli sejak pertama kali dibangun.

Bandung Mendung, dari teras puncak Gedung Sate.

2 kilo meter mah nggak ada apa-apanya. Mendaki gunung aja biasa, masa cuma 2 km panggil becak? So go go go Supertramp. Jadi saya mulai ikut-ikutan Sam memanggil diri saya Supertramp, persis sama seperti tokoh favorit saya di film into the wild.

Diselingi makan siang, lalu mampir ke BIP <lagi-lagi Mall, uhhh>, kursus kilat fotografi sama SamsonWati… ternyata menuju Braga Festival nggak kerasa jauhnya. Nggak mungkin 2 km! tapi untungnya obrolan kami dari hal yang nggak mutu sampe ngelibatin rahasia Negara mengalihkan kekhawatiran kami berdua pada volume kedua betis ini. Rrrrrrrrr.

Dulunya kawasan ini dikenal dengan kalangan high class-nya. Jalan Braga dibuat Belanda untuk dijadikan jalan pusat perbelanjaan Eropa terbesar di Hindia Belanda seiring rencana Pemerintah Kolonial memindahkan ibukota dari Batavia ke Bandung. Beberapa bangunan tua gaya art-deco dengan tata kota mirip salah satu sudut di Eropa. Ada yang bilang bahwa bangunan tua disini dibangun oleh arsitek Belanda yang memadukan unsur tradisional dengan kecanggihan konstruksi ala barat. Nggak heran jika kita perhatian dinding bangunan kaya akan detil, di sisi lain tiang-tiang terlihat kokoh dan megah khas eropa.

Orang-orang berseliweran dengan pakaian paling fashionable di zamannya. Dengan mantel dan bulu-bulu. Hmm, pantas saja orang-orang Belanda menyebutnya Paris van Java, ikon kota Bandung. Nuansa-nya bahkan masih bisa ditangkap saat ini, meski gedungnya sudah berubah fungsi, papan iklan dimana-mana ditambah cuaca yang semakin panas.

Saya pikir Braga Festival mengangkat kembali romantisme masa lalu. Berharap ada yang beda dari festival-festival sejenis di nusantara. Hari itu, kami disuguhi berbagai jenis stan makanan <nggak heran, Bandung terkenal dengan kreasi makanannya>, stan clothing, pertunjukan musik dan budaya. Yang cukup menarik selain arsitektur tua, adalah atraksi dari pemahat lokal. Hasilnya, lumayan buat nyamain muka haha… So far, nggak beda sama FKY di Jogja.

Nggak jauh-jauh.. makaaaannnn… yummy

Atraksi salah satu pemahat di Braga Festival

Keren-kan hasilnya…

Tikk.. Tikk.. Tikk.. <Play a happy song..>

Salah satu anak tangga di Gedung Merdeka.

Jam 4 sore. Akhir dari Tour de Gratuit ini. Senang rasanya mengetahui masih ada energi tersisa untuk mengingat kembali dan mencatatnya. Rasanya saya masih sanggup melakukan perjalanan seperti itu ribuan kali di tahun-tahun mendatang bersama teman seperjalanan yang hebat. What a Great Trip, Sam.

Byurrrrrr.. <hujan, badai, angin kencang.. it was definitely true>

Beep.. Beep.. <well, it was grrrrrr vibrate active->

OTW k desa kcl gk populer. Bsh k’ujanan.. Aq msh lanjutin mkn CiLok nih..

Bener-kan? cuma Samson yang bisa dan mau-maunya makan CiLok rasa sandal. Haha…

*Koleksi foto-foto pribadi Sam..